18 Juli 2024

ALKITAB MENURUT MARTIN LUTHER

 

ALKITAB MENURUT MARTIN LUTHER

(Ditulis oleh Yeftalius Situmeang,S.Th)

 

1.      Bagaimana Alkitab Menurut Luther

1.1.           Cara Luther Menafsir Alkitab

Salah satu hal yang sangat ditekankan oleh Luther adalah otoritas sebuah Alkitab yang terkenal dengan istilah Sola Scriptura. Berawal dari latarbelakang peristiwa gereja pada saat itu, Luther pernah diinterogasi Kardina Catejanus di Ausburg (1518), ketika didesak untuk mengaku salah dan menerima dekrit Paus, Luther dengan tegas menjawab, "Saya tidak akan muncul dari begitu banyak kesaksian Kitab Suci yang jelas, hanya karena sebuah dekrit Paus yang bermakna ganda.". Luther menyatakan pendiriannya dengan terus terang bahwa Paus telah menyelewengkan Kitab Suci dan itulah yang ditentang oleh Luther.[1]

Luther mengambil pendirian yang cukup revolusioner dengan menolak otoritas Paus sebagai satu-satunya yang berhak menafsirkan Alkitab. Pertentangan tidak lagi dielakkan ketika ia melihat adanya penyimpangan kekuasaan dalam tubuh Gereja Katolik Roma. Kalau hanya kaum imam yang mengetahui firman Tuhan, maka pertumbuhan iman jemaat melalui Alkitab tidak akan ada karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk membacanya. Sebenarnya Luther sendiri cenderung konservatif, sejauh mungkin ia berusaha mempertahankan apa saja yang masih berlaku benar sesuai dengan ajaran Alkitab. Meskipun begitu pandainya pemikiran atau penafsiran para imam namun dasarnya adalah Alkitab.[2]

Lalu bagaimana pandangan Luther dalam menafsir Alkitab? Menurutnya, sejauh tafsian para klerus menolong umat percaya untuk menghampiri Alkitab. Hal ini diungkapkannya, dalam tulisannya tahun 1520 yaitu Seruan kepada pemimpin-pemimpin Jerman yang berbunyi: "Tulisan-tulisan dari semua bapa suci hendaknya dibaca hanya untuk sementara waktu agar melalui tulisan-tulisan itu kita dapat dibimbing kepada Kitab Suci. Namun ternyata, kita membacanya dan larut di dalamnya.” Luther menetapkan suatu tolok ukur terhadap ajaran-ajaran Bapa-bapa Gereja, yakni kesetiaan kepada firman Allah. Ia menegaskan tidak akan memperhatikan Gereja atau Bapa-bapa Gereja atau rasul-rasul, kecuali mereka menyampaikan dan mengajarkan Firman Allah yang murni.[3]

            Martin Luther adalah Doktor bagian Kitab Suci, namun ia juga ahli dalam dogmatika. Latarbelakangnya mempengaruhi cara penafsirannya. Dalam soal penafsiran Alkitab, Luther sangat serius dengan ketepatan teks Alkitab. Oleh sebab itu ia sangat memperhatikan pentingnya bahasa Ibrani dan Yunani yang dipergunakan para penafsir Alkitab untuk mengungkapkan firman Allah. Ia mempunyai maksud dan tujuan supaya penafsiran lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena ia mengutamakan makna gramatikal dan literal, kecuali jika konteksnya menghendaki tafsiran yang lain.[4]

 

1.2.           Sola Scriptura

Sola Scriptura adalah salah satu gerakan Reformasi selain daripada Sola Fide dan Sola Gratia. Prinsip penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi Sola Scriptura adalah Hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi. Kalau ditelusuri lebih dalam lagi maka jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan mengenai pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa kebenaran ini diajarkan di dalam Alkitab.[5]

Prinsip ini sekaligus juga merupakan prinsip Luther dalam menafsirkan Alkitab, yakni bahwa Alkitab menafsirkan dirinya sendiri (Scriptura scripture interpres) dan Alkitab saja sudah cukup tanpa petunjuk otoritatif lainnya. Itulah sebabnya dalam suatu diskusi tentang ucapan Augustinus mengenai gereja ("Aku tidak akan percaya pada Injil jika aku tidak percaya pada Gereja"), Luther dapat mengatakan, Bahkan seandainya Augustinus menggunakan kata-kata ini, siapa yang memberinya otoritas sehingga kita harus percaya kepada yang dikatakannya? Apa nats Kitab Suci yang dikutipnya untuk membuktikan pernyataan ini? Bagaimana kalau ia salah dalam hal ini, seperti yang sering dilakukannya dan juga semua Bapa gereja?. Pemikiran Martin Luther itu benar, sebenarnya esensi firman bukan dalam Gereja atau Bapa-bapa Gerejanya tetapi karena Alkitab yang disampaikan oleh mereka. Ia juga bukan menolak atau anti terhadap Bapa Gereja tetapi yang ia maksudkan adalah penafsiran yang isinya dirumuskan sesuai dengan ajaran Alkitab.[6]

Jika diamati dan dibandingkan dengan pendapat di atas, dapat dianalisis bahwa Allah tentunya bekerja melalui pelayan-pelayan Gereja namun perlu diketahui secara teologis sebenarnya adalah peranan Roh Kudus yang memampukan para pembaca Alkitab dan mengertinya dengan baik dan benar. Dalam kuliah-kuliah ia sering mengatakan: "Tak seorang pun mengerti ketentuan-ketentuan Allah, kecuali pengertian itu diberikan kepadanya dari atas, karena kesalahan yang paling menyedihkan ialah apabila orang menganggap dirinya menafsirkan Kitab Suci dan hukum Allah dengan berpegang padanya melalui pengertian dan penelitiannya sendiri." Prinsip penafsiran Luther membedakan antara hukum dan Injil. Menurut Luther Roh itu tersembunyi di dalam huruf karena huruf itu sendiri memberitakan hanya hukum atau murka Allah, sedangkan Roh membawa firman anugerah atau Injil.[7]

Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu hierarki gerejawi yang sudah menyimpang karena gereja menempatkan dirinya lebih tinggi dari firman Tuhan. Padahal, berdasarkan Efesus 2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada sebelum gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar pengajaran para rasul dan para nabi. Pengajaran para rasul dan nabi adalah pengajaran firman Tuhan, yang jelas bukan hanya lebih tua tetapi juga lebih tinggi dari pengajaran gereja. Alkitab mampu memberikan penilaian atas gereja sekaligus memberikan model bagi gereja yang benar. Oleh karena itu orang Kristen harus didorong untuk membaca Alkitab, karena Allah yang hidup berbicara kepada umat-Nya secara langsung dan otoritatif melalui Alkitab.

 

1.3.           Otoritas / Kewibawaan Alkitab

Jika gereja dan Bapa-bapa Gereja pun tunduk kepada otoritas Alkitab, maka penafsiran Alkitab akan benar. Luther bukan menyangkal hasil konsili-konsili ekumenis tentang peneguhan pokok-pokok iman purba. Ia mengakui bahwa Roh Kudus hadir dalam konsili-konsili tersebut, tetapi tetap saja konsili-konsili ini tidak berkuasa merumuskan pokok-pokok iman yang baru. Ia juga membandingkan bahwa pada waktu konsili rasuli di Yerusalem pun (Kis. 15) pun tidak menetapkan cara iman yang baru, melainkan hanya meneguhkan kesimpulan Petrus, yakni bahwa para nenek moyang mereka telah percaya akan pokok iman ini. Manusia diselamatkan tanpa hukum Taurat, hanya melalui anugerah Kristus.[8]

Pemahaman Luther tentang otoritas Alkitab sebenarnya tidaklah baru. Kontribusi Luther yang terutama terletak pada pendiriannya tentang hakikat dan fungsi Alkitab bagi umat percaya. Dalam hal ini patut dicatat bahwa Alkitab harus diterima dengan iman. Jadi Luther sebenarnya tidak merumuskan pandangan yang baru, melainkan hanya kembali kepada keyakinan gereja purba bahwa Alkitab merupakan firman Allah yang membimbing orang dalam keselamatan dan kehidupan iman. Pada sisi lain, pandangan Luther tentang dasar yang memberi sifat otoritatif bagi Alkitab juga tidak berbeda dengan ajaran gereja purba maupun gereja abad pertengahan, yakni: Alkitab diilhami oleh Roh Allah dengan demikian merupakan firman Allah yang bersifat otoritatif bagi umat percaya. Sama seperti tradisi gereja purba, Luther melihat bahwa pada hakikatnya Alkitab berisi dan berpusat pada Kristus sendiri (Kristosentris).[9] Oleh karena berpusat kepada Kristus, maka Firman Tuhan tidak lain dari pada pemberitaan tentang Kristus, Anak Allah dan Anak Daud, Allah sejati dan manusia sejati, yang oleh kematian dan kebangkitan-Nya telah mengatasi semua dosa manusia dan maut serta neraka, bagi kita yang percaya kepada Dia. Hakikat kristosentris ini sekaligus memberi dimensi ajaran keselamatan (Soteriologis) dalam pandangannya tentang otoritas Alkitab.[10]

M. Luther menolak otoritas tradisi gereja yang disetarakan dengan otoritas Alkitab. Sebuah catatan perlu diberikan, guna menghindari kesalahpahaman yang sudah cukup umum. Banyak orang berpikir bahwa para Reformator percaya kepada otoritas Alkitab yang tanpa salah, sedangkan gereja Roma Katolik percaya hanya kepada otoritas gereja dan tradisinya yang tanpa salah dan ini merupakan suatu kekeliruan. Mengapa menjunjung tinggi otoritas Alkitab itu penting? Jawabannya sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab dengan sendirinya memiliki kewibawaan atau otoritas.

Otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan pada fakta bahwa Alkitab diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2 Tim. 3:16). Inspirasi adalah cara di mana Allah memampukan penulis-penulis manusia dari Alkitab untuk menulis semua perkataan di bawah pengawasan Allah sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian para penulis Alkitab diakui aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses inspirasi tersebut. Karena itu apa yang ditulis bukan semata-mata tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah yang sejati. Jadi, otoritas Alkitab tidak tergantung pada bukti-bukti kehebatan dan kesempurnaannya, tetapi oleh karena iman yang Roh Kudus sudah kerjakan dalam hidup orang-orang percaya sehingga mereka mempercayai kebenaran Alkitab dan menaklukkan diri di bawah otoritas tersebut.[11]

Reformator Luther sebenarnya ingin menghidupkan kembali kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek gerejawi yang murni berdasarkan Alkitab. Dia sangat berani dan bersemangat untuk mengembalikan iman orang Kristen dan kekristenan kepada otoritas Alkitab. Otoritas Alkitab menekankan bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai firman Allah kecuali Alkitab yang ditafsirkan dan diajarkan sesuai dengan ketentuan dan aturan dari firman-Nya. Jadi Alkitab jangan dipermain-mainkan atau dipelintir untuk kepentingan seseorang.[12]

Prinsip penafsiran Luther mencerminkan pendiriannya tentang kedudukan otoritatif tulisan-tulisan dalam Alkitab. Sebagaimana otoritas kitab-kitab dalam Alkitab tidak dapat disamakan begitu saja, maka ia juga tidak menyamakan begitu saja otoritas Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Kendati demikian Luther melihat adanya kesatuan di antara kedua Perjanjian. Alkitab berada dalam satu hakikat sebagai berita keselamatan di dalam Kristus. Jadi ia lebih cenderung melihat bahwa Perjanjian Lama adalah buku hukum-hukum, yang mengajarkan apa yang harus dan jangan dilakukan manusia. Sedangkan Perjanjian Baru adalah buku Injil atau buku anugerah dan mengajarkan di mana orang dapat memperoleh kuasa untuk memenuhi hukum itu. Namun hal yang baru telah menjadi lebih besar yaitu pemberitaan tentang anugerah dan damai di dalam Kristus.[13]

Dengan demikian jelaslah bahwa otoritas terakhir terletak pada Alkitab sebagai firman Allah. Tradisi-tradisi dan ajaran-ajaran gereja, baik yang mengikuti ajaran Bapa-bapa Gereja maupun yang merupakan keputusan konsili-konsili gereja, tidaklah berdampingan sejajar dengan Alkitab, melainkan harus senantiasa diperhadapkan dengan Alkitab dan tunduk kepada otoritas Alkitab.

 

 

2.      Warisan Pemahaman Luther dikembangkan Lutheranisme

Pertama-tama, istilah "Lutheran" bukanlah istilah yang sengaja dibuat oleh Luther karena bagi Luther gereja hanyalah milik Kristus sendiri. Ia sendiri tidak pernah bercita-cita menciptakan aliran baru, melainkan hanya membarui praktek-praktek dan ajaran-ajaran gereja pada zamannya yang telah menyimpang dari ajaran Alkitab. Namun dalam perkembangan selanjutnya, banyak yang menjadi pengikut Martin Luther dalam hal pola pikirnya, ajarannya, teologinya, keberanian dan aksinya yang disebut dengan Lutheran atau Lutheranisme.

Salah satu warisan pemahaman Luther yang dikembangkan oleh Lutheranisme adalah doktrin keselamatan. Berdasarkan Alkitab sangatlah jelas menunjukkan bahwa hakikat keselamatan bukanlah indulgensia tetapi keselamatan terjadi oleh karena anugerah Allah melalui penebusan dalam Yesus Kristus. Semua manusia telah berdosa (Rm. 3:28) dan manusia sama sekali tidak bisa mengupayakan sendiri untuk meraih keselamatan dirinya (bandingkan Rm. 3:20). Keselamatan juga tidak mungkin karena perbuatan baik kita, sehingga kita membutuhkan anugerah ilahi agar selamat. Karena belas kasihan Allah, Allah menyelamatkan manusia melalui kematian Putera-Nya (Yoh. 3:16). Manusia yang tersesat karena perbuatannya diselamatkan oleh Allah. “Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan manusia sudah nyata” (Tit. 2:11). Beberapa ayat yang paralel dengan itu antara lain Ef. 2:8,9 dan Rom. 4:16. Keselamatan melalui perbuatan adalah hal yang mustahil, tetapi keselamatan karena anugerah sudah pasti. Ajaran keselamatan Kristen berbeda dengan agama-agama lain. Konsep mereka adalah karena berdosa maka manusia memberi persembahan.[14]

Teologi itu menunjukkan bahwa perbuatan tidak akan menyelamatkan manusia, sekalipun itu perbuatan baik. Apalagi dengan cara menjual surat penghapusan dosa yang didapatkan oleh jemaat melalui uang. Itu sungguh aneh dan sangat kontras dengan penjelasan di atas, dengan indulgensia maka pengorbanan Kristus telah diremehkan dan diganti dengan pembelian indulgensia.

Selain itu Menurut Gary M. Simpson, Luther menghasilkan suatu teologi protes yang berimbas pada masa kini untuk mengkritik kuasa politik dalam masyarakat sipil di dunia. Pertama, usaha Luther membangun suatu metode / pendekatan teologi. Kedua, kritikan Luther berfungsi untuk publik/umum, Ketiga, ia membangun refleksi hubungan Allah kepada manusia dan menentang penjajahan/kesewenang-wenangan Katolik Roma.[15]

Semua yang dilakukan oleh Luther merupakan reformasi atau pembaruan dalam gereja sehingga muncullah Gereja-gereja yang mengikuti protes dari Martin Luther yang disebut dengan Kristen Protestan dan dalam perkembangan selanjutnya ada pula yang disebut dengan Lutheranisme. Kata pembaruan yang dimaksud dalam ini adalah pandangan Luther dan keyakinannya yang kuat untuk menentang surat indulgensia. Luther tidak menyangkal bahwa pimpinan Gereja merupakan penting namun jangan sampai melebihi kuasa Tuhan seperti membuat indulgensia untuk mengampuni dosa dan kesalahan manusia. Luther mengkritik bahaya yang disebabkan konspirasi kebusukan dan ketamakan gereja katolik saat itu. Dia juga menjadi orang yang menginspirasi beberapa reformator gereja seperti Philip Melancthon, Yohanes Calvin, dll meskipun ajaran mereka tidak sama. Pemikiran-pemikiran Martin Luther dikembangkan oleh para penganutnya yang disebut dengan lutheranisme, bukan hanya itu beliau juga Bapak Reformatoris yang menjadi panutan bagi tokoh-tokoh yang lain.[16]

Selain itu Luther juga membuat pembaharuan tentang Perjamuan Kudus. Luther memperdalam penjelasan nama perjamuan itu secara lebih jelas lagi. Perjamuan kudus disebut juga Perjamuan Tuhan, Meja Tuhan, Komuni Kudus, Pemecahan Roti, dan Ekaristi. (1 Kor. 11:20; 1 Kor. 10:21; 1 Kor 10:16; Kis. 2:42; Mat. 26:26).[17] Ajaran Luther tentang Perjamuan Kudus menegaskan bahwa roti dan anggur itu tidak berubah menjadi tubuh dan darah Kristus secara materi dan inilah yang disebut kon-substansiasi. Gereja Lutheran memahami bahwa di dalam Perjamuan Kudus, Yesus Kristus sungguh-sungguh hadir tanpa merubah keberadaan roti dan anggur. Namun Dia hadir dalam Perjamuan Kudus ketika umat percaya kepada firman Tuhan yang diucapkan ketika Perjamuan Kudus dan percaya kepada penebusan yang dilakukan oleh Yesus Kristus. [18]

Menurut gereja Katolik roti dan angur telah berubah menjadi tubuh dan darah Kristus (transsubstansiasi) pada saat pelaksanaan Perjamuan Kudus. Setiap Perjamuan Kudus mereka meyakini bahwa setiap kali missa dilakukan itu berarti Yesus mengorbankan ulang tubuh dan darah-Nya untuk keselamatan manusia yang penuh dengan dosa. Ajaran transsubstansiasi ini disahkan menjadi dogma gereja pada konsili ke-4 di Lateran (1215). Kemudian ajaran ini dikembangkan oleh Thomas Aquino (1274) dan pada konsili Terente (1545-1563) ajaran ini diteguhkan dan dikuatkan sebagai jawaban gereja Roma Katolik atas Reformasi.[19]

Dalam pemikiran-pemikirannya, Luther mengembangkan teologi berdasarkan Alkitab. Misalnya Luther membuat makna dari inti sari iman dalam sebuah simbol yang berdasarkan nats Alkitab yang disebut ‘Mawar Luther’, yaitu:

1.      Allah yang mengasihi manusia (Yoh. 3:16)

2.      Semua manusia adalah berdosa (Rom. 3:23)

3.      Yesus menanggung hukuman kita (Rom. 5:8)

4.      Yesus bangkit dari kematian (Kor. 15:3-4)

5.      Yesus menawarkan pengampunan dosa dan hidup yang kekal (Kis. 16:30-31)

6.      Keselamatan adalah cuma-cuma sebagai pemberian Allah (Ef. 2:8-9)

 



[1] Lih. R. Bainton, Here I Stand: A Life of Martin Luther, Abingdon Press, New York, 1950: hlm. 96.

[2] Lih. J. B. Rogers & D. K. Mc. Kim, The Authority and Interpretation of the Bible, Harper & Row, San Fransisco, 1979: hlm. 76.

[3] Lih. H.T.Kerr, A Compend of Luther's Theolog, Westminster Press, Philadelphia, 1966: hlm. 13.

[4] Lih. H.T.Kerr, Ibid., hlm. 16-17.

[5] Lih. R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology, Grand Rapids, Michigan, 1997: hlm. 42.

[6] Lih. J. B. Rogers & D. K. Mc. Kim, Op.Cit., hlm. 77.

[7] Bnd. B.M. Gearson, Religious Thought in the Reformation, Longman, London-New York, 1992: hlm. 68.

[8] Lih. H.T.Kerr, Op.Cit., hlm. 153.

[9] Lih. D. L. Baker, Satu Alkitab Dua Perjanjian, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993: hlm. 132.

[10] Lih. H. G. Reventlow, "Biblical Authority and Protestant Reformation", dlm The Anchor Bible Dictionary 5, ed. D. N. Freedman, Double Day, New York, 1992: hlm. 1032.

[11] Lih. J.M. Boice, Foundations of the Christian Faith, Downers Grove, 1986: hlm. 49.

[12] Lih. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi,  BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999: hlm. 182.

[13] Lih. D. L. Baker, Op.Cit., hlm. 38.

[14] Lih. Edward W. A. Koehler, Intisari Ajaran Kristen, Akademi Lutheran Indonesia, Pematangsiantar, 2012: hlm. 85.

[15] Lih. Karen L. Blooquist (Ed.), Theological Practices that Matter: Theology in the Life of the Church, Lutheran University Press, Minneapolis, Minnesota, 2009: hlm. 154.

[16] Bnd. “Dalil Martin Luther dan Refleksinya” dlm. Majalah Immanuel Edisi Oktober 2013, hlm. 58-59.

[17] Lutheran Heritage Foundation, Landasan Iman Kristen dengan Penjelasannya, (Concordia Publishing House, 2012), hal. 225.

[18] Lih. H. Berkhof & I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993: hlm. 131-132.

[19] Lih. G.C. van Niftrik & B.J.Boland, Dogmatika Masa Kini, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010: hlm. 459.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar