06 Mei 2024

Ideologi dan Interpretasi

 

Ideologi dan Interpretasi

            Peranan agama dalam dalam menetapkan makna pengalaman individu dan masyarakat untuk menafsirkan secara moral kesulitan-kesulitan dan keberhasilan-keberhasilan mereka di masa lampau dan masa kini serta menuju aspek-aspek yang kognitif. Agama telah memberi kelegaan emosi dan interpretasi-interpretasi intelektual manusia  dalam mendapatkan makna dari pengalaman hidupnya. Misalnya mendapatkan makna karena penderitaan yang tidak diinginkan sehingga makna itu digunakan kembali menghadapi penderitaan. Seorang tokoh Alkitab, Ayub yang sangat menghormati nilai-nilai sakral tetapi ia mendapat penderitaan yang hebat.[1] Perbedaan nasib untung dan rugi manusia  tidak ditentukan baik atau buruknya manusia. Oleh karena itu agama berperan menerapkan penilaian Tuhan kepada manusia atau memberi makna moral dalam pengalaman manusia itu.

Masyarakat yang bertahan menghadapi tantangannya telah mampu mengembangkan interpretasi moral tentang ideologi hidup sebagai makna kemasyarakatan karena masyarakatnya melaksanakan kewajiban-kewajiban sosial mereka, maka harus ada dulu sistem aturan kelembagaan. Namun dalam masyarakat penerapan hukuman itu belum sampai kepada keadilan yang ideal. Pertimbangan-pertimbangan tersebut memberi konteks dan peranan agama dalam memberikan penafsiran moral, sejarah dan aturan-aturan sosial. Usaha-usaha pemecahan masalah tersebut cenderung gagal, karena itu dapat menggunakan unsur-unsur nonempiris hingga adikodrati. Contoh menggunakan kepercayaan-kepercayaan agama akan adanya kehidupan akhiran kelak, dimana orang-orang mendapatkan ganjaran dari apa yang diperbuatnya.[2]

Cara berpikir atau sistem ide yang telah diterima dengan baik oleh masyarakat secara umum dan kelompok tatanan sosial merupakan hasil perpaduan dari pengaruh-pengaruh yang saling berinteraksi dalam jangka waktu bertahun-tahun termasuk penyebaran dan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan etik serta kelompok-kelompok ekonomi, politik, dan penguasa.[3]

Interpretasi agama tentang tatanan sosial sebagai contoh penjelasan mengenai makna adalah doktrin yang dikembangkan oleh orang-orang Yahudi. Yahudi dengan ketinggian kreativitas dalam keagamaan berhasil membuat interpretasi secara moral tentang makna masyarakat mereka. Keberadaan mereka sebagai bangsa diberi makna karena terpilih sebagai hamba yang taat. Interpretasi-interpretasi keagamaan yang telah ada sebelumnya lebih sempit mengenai sejarah mereka secara perlahan-lahan kehilangan maknanya.[4] Penderitaan batin yang mereka alami adalah usaha memperoleh makna moral dari ketidakadilan yang dicatat oleh para penulis mazmur Ibrani dan para nabi. Landasan dari interpretasi ini terletak pada kepercayaan yang bersifat nonempiris terhadap adanya suatu zat supernatural yang maha tinggi yang terlibat kepada seluruh umat manusia. Tetapi doktrin yang tidak ilmiah ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang besar. Selain itu pemecahan masalah makna kemasyarakatan pada saat situasi gawat adalah pemecahan mesianik. Kepercayaan akan datangnya mesias yang akan melakukan pembebasan-pembebasan masalah masyarakat. Kepercayaan-kepercayan yang tidak realistik ini ternyata terkadang membangkitkan vitalitas  besar pada bangsa yang tertindas, untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan.[5]

Interpretasi agama terhadap lembaga sosial. Sistem-sistem kelas memberikan status yang berbeda kepada masyarakat. Sistem kasta dalam agama Hindu sekarang banyak mengalami perubahan menjadi radikal. Nilai kultural ini terdiri dari suatu ritus keagamaan dan yang berhak melakukannya adalah kasta Brahmana. Kasta itu menjadi jarak sosial. Sistem kelas di Eropa pada abad pertengahan, pandangan keagamaan memberikan makna moral, melembagakan perbedaan status, dan sistem pemakaian tanah (feodal).[6]

Interpretasi keagamaan tentang sistem ekonomi dan politik juga memerlukan interpretasi moral. Pemerataan kekayaan dan usaha memperolehnya menimbulkan perasaan ketidakadilan dan ketidaksamaan. India kuno menolak keras dunia karena agama, hal ini berdampak nilai ekonomis berkurang. Sedangkan di Eropa sangat berbeda, pandangan kekristenan memberi makna moral kepada umat dengan persyaratan. Aktivitas ekonomi bebas asalkan tidak jatuh ke dalam dosa. Kristen memberi interpretasi terhadap kekuasaan politik. Di lain pihak lembaga-lembaga politik sebagai alat orang Kristen dari sudut moral.[7]

Interpretasi sakral tentang struktur sosial mencakup semua anggota masyarakat. Dengan status quo, agama tidak hanya menjamin stabilitas sosial, dan konservatisme yang ekstrim. Tetapi juga berfungi memberikan pembenaran-pembenaran moral, menentang rezim-rezim anti agama dan filsafat penentang keagamaan. Mula-mula etika keagamaan menanamkan artinya susunan-susunan internal masyarakat.[8]

Kebangkitan lembaga keagamaan yang radikal terjadi seiring pergolakan sosial, ekonomi, dan politik. Sepanjang manusia mencari jawaban pertanyaan dari pengalaman sosial. Dalam masyarakat sederhana interpretasi keagamaan lebih implisit. Masyarakat tipe kedua adalah perbedaan nasib antara orang kaya dan orang miskin. Agama menjamin nilai-nilai lembaga sosial dasar. Masyarakat tipe ketiga yaitu masyarakat industri modern muncul interpretasi sekuler. Lembaga-lembaga diwarnai sifat yang menyerupai keagamaan.[9]



[1] Elizabeth K, Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Rajawali, Jakarta: 1985, hlm. 89-91.

[2] Ibid., hlm.92-93.

[3] Ibid., hlm. 95-96.

[4] Ibid., hlm. 97-98.

[5] Ibid., hlm. 98-100.

[6] Ibid., hlm. 103, 105.

[7] Ibid., hlm. 108-109.

[8] Ibid., hlm. 110-111.

[9] Ibid., hlm. 118-120.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar