07 Mei 2024

Max Weber dan Masalah Rasionalitas

 

Max Weber dan Masalah Rasionalitas

Max weber lahir di Erfurt, Thuringia tahun 1864 dan dibesarkan di Berlin. Keluarganya adalah orang protestan kelas menengah-atas dan termasuk kaum borjuis. Ayahnya adalah seorang hakim di Erfurt ketika keluarganya pindah ke Berlin dan menjadi seorang penasehat di pemerintahan kota dan kemudian menjadi anggota Prussian House of Deputies dan German Reichtag. [1]

Ayahnya senang berkompromi dengan politik dan kesenagan borjuis. Sedangkan ibunya Helene Fallenstein Weber memiliki watak yang sangat berbeda, ibunya sangat yakin akan perasaan saleh Calvinis. Pada usia 18 tahun Weber mulai mempelajari hukum di Universitas Heidelberg tetapi studinya terganggu karena tugas militer. [2] Weber sangat tertarik pada masalah-masalah sosiologis tentang struktur sosial dan kebudayaan. Dia mendefenisikan sosiologi adalah ilmu pengetahuan untuk memperoleh pemahaman interpretasi mengenai tindakan sosial agar bisa sampai kepada penjelasan kausal dan akibat-akibatnya. Melalui tindakan apabila sepanjang individu bertindak memberi arti subyektif. Tindakan itu merupakan arti subyek dihubungkan dengan individu yang bertindak, memperhitungkan perilaku orang lain. Weber berbeda dengan Durkheim. Durkheim melihat masyarakat sebagai yang riil, tetapi dia melihat terlepas dari individu dan prinsip-prinsipnya yang khas. Selain itu Durkheim menekankan obyektif sedangkan tujuan Weber adalah untuk masuk ke arti-arti subyektif untuk membedakan struktur sosial dan memahami perubahan sosial.[3]

Weber bermaksud memperbaiki interpretasi materialis yang tidak seimbang dengan pandangan Marx dalam sistem kapitalis. Menurut Marx, perjuangan kelas merupakan kunci perubahan. Manusia membutuhkan kepentingan material berupa nilai sosial, norma, ide-ide. Weber juga mengakui pentingnya material itu dan harus seimbang dengan ideal.

Beliau menganalisa kepercayaan protestan dan perkembangan kapitalisme dilihat dari konteks usaha memberi pengaruh ide-ide dalam sejarah. Etika protestan merupakan perangsang kuat yang menumbuhkan kapitalisme. Etika protestanisme memperlihatkan orientasi agama yang jauh lebih lengkap daripada besar lainnya termasuk Katolisisme[4]

Etika Protestan dan proses sekularisasi. Protestanisme merupakan suatu dobrakan utama terhadap tradisi. Ide-ide tertentu dalam protestanisme memperlihatkan perubahan dari tradisionalisme ke suatu orientasi yang lebih rasional. Etika kerja masyarakat modern yang bersifat sekular merupakan suatu kebutuhan dasar bagi prestasi kerja individu di masa kini. Rasionalitas dan efisiensi terus meningkat dan memasuki oraganisasi.[5]



[1] Elizabeth K, Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Rajawali, Jakarta: 1985, hlm.  207.

[2] Ibid., hlm.  209.

[3] Ibid., hlm. 214-215.

[4] Ibid.  hlm. 237-238.

[5] Ibid., hlm. 242, 246.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar