06 Mei 2024

AGAMA DAN SOLUSI KONFLIK

 

AGAMA DAN SOLUSI KONFLIK

            Fungsi agama dalam masyarakat mengarah kepada apa yang diberikan agama kepada masyarakat dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Agama melakukan pendekatan dengan tipe-tipe kepemimpinan dan keanggotaan yang beranekaragam dan hubungan timbal balik antara lembaga keagamaan dengan masyarakat. Masyarakat memiliki kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya, maka agama berfungsi memenuhi kebutuhan itu sebagian. Agama membantu mendorong terciptanya persetujuan mengenai sifat dan dan kewajiban-kewajiban sosial tersebut dengan memberi nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap masyarakat dan menetapkan kewajiban-kewajiban sosial. Artinya agama menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh. Selain itu agama melakukan peran yang sangat penting dalam memperkuat adat istiadat. Sehingga sikap mengagungkan dan hormat terhadap adat istiadat masih dijunjung tinggi oleh karena pemahaman-pemahaman adat itu sakral.[1]

Selain itu, fungsi agama tidak terlepas dari tujuannya yang bersifat manifes dan laten. Manifes adalah fungsi yang disengaja dan laten ialah fungsi yang tidak disengaja oleh pelaku. Tujuan manifes agama menyangkut jawaban atas masalah makna dan ritus yang berhubungan dengan hal yang tertinggi-Tuhan. Dalam Masyarakat ada kompleks perilaku manusia yang teratur termasuk didalamnya pembagian kerja dan ganjaran materi dan nonmateri.[2]

Manusia tidak mampu bertahan dalam mengatur tingkah laku bersama dan mempertahankan disiplin. Tetapi apabila masyarakat menginginkan tingkah laku sosial yang tertib maka masyarakat harus dan dibentuk sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakati bersama dan akhirnya menjadi nilai-nilai. Masyarakat berupaya mencapai tujuan kegiatan sosial. Di sisi lain mengusahakan agar tingkah laku mereka sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma sosial yang didukung oleh sanksi-sanksi.[3] Durkheim banyak mengungkap hakikat interaksi antara nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan pelaksanaan norma-norma tersebut. Menurutnya yang paling penting dalam kesakralan adalah kemampuan untuk mengagumi dan memaksa tingkah laku manusia untuk mengukuhkan nilai-nilai moral kelompok.[4]

Peran agama di bidang sosial harus bisa mempersatukan masyarakat karena nilai-nilai yang mendasari sistem kewajiban sosial didukung oleh keagamaan maka agama menjamin adanya persetujuan bersama dalam masyarakat dan ikut melestarikan nilai-nilai sosial. Agama turut serta dalam mengajari individu-individu termasuk anak-anak.[5]

Dibalik fungsi agama diatas ternyata banyak yang berpendapat bahwa agama sering berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu seperti perang antar agama. Jonathan Swift menyatakan agama cukup untuk membuat benci tetapi tidak cukup untuk mencintai. Pada saat ini masyarakat hendaknya memberi perhatian pada ketidakjelasan fungsi dan disfungsi agama dalam hubungannya dengan masyarakat dan individu.[6]

Fungsi awal agama adalah memupuk persaudaraan tetapi seiring perkembangan zaman menunjukkan fakta yang positif dan ada juga negatifnya yaitu fakta perpecahan antar manusia, perbedaan doktrin dan sikap sebagai contoh bentrokan umat Kristen Gereja Purba dengan umat Yahudi. Perbedaan iman (doktrin) menimbulkan bentrok. Ajaran agama pada umumnya mengajarkan yang baik tetapi sikap mental keagamaan yang negatif lah yang merusak persatuan seperti kesombongan religius, prasangka dan intoleransi. Selain itu beberapa faktor konflik sosial lainya seperti perbedaan suku dan ras bagi umat beragama ini hendaknya tidak menjadi masalah.[7]

Konflik sosial dengan agama merupakan tanda-tanda awal dari kombinasi protes agama dan protes sekular. Kekaburan hubungan antara agama dengan masyarakat dan fungsi dan disfungsi agama dalam masyarakat dan individu telah mengalami proses sekular terutama dalam perkembangan sosial dan kultur telah terjadi sekularisasi kebudayaan. Perkembangan teologi menjadi rasional. Manusia sering menolak emosional tetapi pemikirannya sudah merasional. Sekularisasi menanggapi hal-hal yang religius dan sakral dan mengeluarkan emosi dalam memahami dunia. Oleh karena kekaburan hubungan agama dan masyarakat yang melahirkan 5 dilema dalam pelembagaan agama yaitu 1. Dilema motivasi campuran, 2. Dilema simbolis, 3. Dilema tertib administrasi: elaborasi dan alienasi, 4. Dilema pembatasan: Batasan konkrit melawan substitusi sertifikat iman, 5. Dilema kekuasaan: konversi melawan paksaan.[8]

Nilai-nilai keagamaan merupakan landasan sebagian besar sistem nilai-nilai sosial dan sangat vital untuk memberi kenyamanan dan ketertiban maka hal ini sangat penting sebagai pendidikan, dan menjadi norma-norma yang perlu diterapkan dalam kehidupan sesuai dengan tugasnya untuk membawa kesejahteraan bagi manusia. Nilai-nilai keagamaan berguna kepada masyarakat, keluarga, individu.



[1] Elizabeth K, Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Rajawali, Jakarta: 1985, hlm. 31, 34, 36.

[2] Thomas F, O’Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, Rajawali dan YASOGAMA, Jakarta: 1987,  hlm. 140.

[3]Elizabeth K. Nottingham, Op.Cit., hlm.  36-37, 39.

[4] Ibid., hlm. 40.

[5] Ibid., hlm. 42,45.

[6] Thomas F, O’Dea, Op.Cit.,hlm. 139.

[7] Clifford Geertz, Politik Agama, Kanisius, Yogyakarta: 1992, hlm. 151, 155.

[8] Thomas F, O’Dea, Op.Cit.,hlm. 155-156,174-183.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar