04 Juni 2014

MASIH ADA KASIH DI PANTI KARYA HARAPAN SIANTAR


MASIH ADA KASIH DI PANTI KARYA HARAPAN SIANTAR
Selain enaknya rasa kuliner kota Siantar, ada baiknya singgah di Panti asuhan atau Panti Karya Harapan yang ada di Jalan Bali, Pematangsiantar tepatnya di depan Kampus USI. Di sana kita akan melihat orang-orang yang masuk ke dalam panti dengan ketentuan seperti orang tua yang sudah berumur 56 tahun ke atas.
Berbagai latar belakang orang yang masuk ke panti ini: ada yang terlantar, diantar keluarga, datang sendiri, ada yang ditarik oleh panti itu sendiri. Orang yang akan masuk ke panti pada aturannya harus membawa surat pengantar tidak mampu, surat dari Dinas sosial dan surat berbadan sehat. Namun dalam beberapa kasus seperti orang yang terlantar tidak mungkin untuk membawa surat.
Menurut narasumber yang kami wawancarai yaitu bapak Sabar Benget Sinambela (istri Br. Sitanggang) yang bertugas sebagai pekerja sosial yang mengurus orang-orang tua itu, bahwa jumlah penghuni panti jompo tidak diketahuinya dengan pasti tetapi bisa ditanyakan kepada bagian administrasi, selain itu orang jompo juga sulit dihitung karena jarang semua penghuni bisa berada di lokasi.
Bapak Sinambela menerangkan: “Mereka boleh keluar sebentar, terkadang ada yang dijemput keluarga. Namun sepengetahuan narasumber, ada sekitar 35 orang jompo, namun ada 10 orang yang kurang terima hidup di tempat ini. Dalam satu kamar mereka bisa berjumlah 2-4 orang bahkan ada yang sampai 5 orang, itu sesuai dengan ukuran luas kamar yang tersedia”.
Terangnya, “Awalnya panti ini adalah panti sosial penampungan orang-orang korban peperangan yang berdiri di Paneitongah berkisar tahun 1950-an. Tahun 1960 pindah ke Jln. Sisingamangaraja, Sibatu-batu dan selanjutnya pindah lagi ke tempat sekarang.
Tahun 2010 panti ini diberikan nama UPT Panti Karya Harapan tetapi di dalamnya ada panti jompo dan digabung dengan tuna rungu dan tuna wicara. Panti ini merupakan tanggungan Dinas Sosial milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara” Jelas Pak Sinambela lebih lanjut.
Penghuni panti jompo yang paling tua berumur 96 tahun dan paling muda 48 tahun. Meskipun pada aturannya yang masuk ke panti harus berumur 56 tahun ke atas, namun ada penghuni yang masih berumur 48 tahun.
Hal ini disebabkan karena toleransi yang diberikan oleh panti karena keluarga yang tidak ada lagi maka datang ke tempat tersebut. Panti juga melonggarkan peraturan karena ini adalah sosial dan tenggang rasa. Ada satu keluarga yaitu ibu dan anaknya yang masih berumur 28 tahun tetapi anaknya juga seorang tuna grahita (kurang sehat mental),”jelasnya.
Selain mewawancara pengurus panti tersebut kami juga mewawancarai seorang penghuni panti jompo yang bernama Jumain, orang Jawa, umur 56 tahun asal dari Medan, Padang Bulan, dulu bekerja sebagai tukang bangunan.
Dia memiliki 4 orang anak dan sudah 3 kali menikah. Istri pertama meninggal, kemudian dia sakit-sakitan dan struk. Ia berpikir daripada menyusahkan anak-anaknya dia kawin lagi dengan boru Pasaribu. Tetapi ternyata keluarganya cerai lagi. Setelah cerai maka dia kawin lagi dengan istrinya yang baru.
Istri ketiganya juga meninggalkan dia dan pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Istrinya tidak pernah pulang dan tidak ada kabar lagi. Demikian juga anak-anaknya yang tidak tahu keberadaannya lagi. 
Dan masih banyak lagi pergumulan pribadi orang tua tersebut. Dia masuk ke panti jompo karena diantar oleh keluarganya dari Bandar karena melihat tidak ada lagi yang mengurusnya.

Acara Marria Raja / Martonggo Raja Dalam Budaya Batak


Siantar, Hetanews.com


Acara Marria Raja / Martonggo Raja Dalam Budaya Batak
Oleh Yefta Situmeang
            Banyak unsur-unsur yang bisa digali dari orang Batak dan ini mengisyaratkan betapa kaya dan indahnya budaya Batak yang penuh dengan makna dan penghormatan. Salah satu budaya Batak  adalah Marria Raja / Martonggo Raja. Sebelum melakukan budaya Batak ini, terlebih dahulu dibuka oleh doa dan ibadah singkat dari pihak Gereja begitu juga dengan penutupan.
Marria raja adalah kegiatan untuk bermusyarawarah, berkumpul dalam jumlah besar, rapat secara bersama-sama. Marria raja hampir sama dengan martonggo raja, tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Marria raja mengundang Raja ni hula-hula, Dongan Tubu / Dongan Sabutuha, Ianakhon, Raja dan Dongan Sahuta, dan yang lainnya untuk membicarakan dan meminta nasehat atau masukan bagaimana supaya acara pemakaman untuk besoknya berjalan dengan baik dan menentukan siapa-siapa saja yang masuk adat, mendapat ulos dan jambar.
Pada malam ini Hula-hula berhak untuk memberikan nasehat pada keluarga yang ditinggalkan terutama bagi suami / istri yang ditinggalkan.
Sama seperti marria raja, martonggo raja adalah bermusyawarah yang melibatkan Raja ni hula-hula, Dongan Tubu, Ianakhon, Dongan Sahuta, Raja dan Namora ni huta, serta Pemerintah setempat. tetapi dalam ruang lingkup yang lebih besar.
Dalam martonggo raja sudah ada ternak yang dipotong untuk dimakan sebelum diskusi adat untuk orang yang meninggal itu dan biayanya sudah lebih besar. Di beberapa daerah seperti Tapanuli Tengah tidak ada marria raja, tetapi semua diskusi pada malam hari sebelum penguburan disebut dengan martonggo raja.
Dalam kegiatan ini, perkumpulan membicarakan acara pemakaman atau menurunkan ke kuburan (patuathon tu parbandaan) dan adat yang sesuai dengan itu. Termasuk juga membicarakan cara kerja atau apa yang harus dilakukan pada hari pemakaman dan siapa yang berperan dalam adat itu dan siapa yang masuk acara adat. 
Penting untuk diingat bahwa sebelum dan sesudah melakukan tonggo raja harus dibuka dan ditutup dengan doa. Setelah marria raja selesai dan makam mulai larut maka dibuatlah makanan berjaga bagi pelayat orang mati yang disebut Pandungoi. (Yef)

SAUR MATUA DAN KEMATIAN DALAM BUDAYA BATAK



SAUR MATUA DAN KEMATIAN DALAM BUDAYA BATAK
Pelaksanaan adat bagi orang meninggal berbeda-beda sesuai dengan tingkat hagabeon dari orang yang meninggal. Hagabeon merupakan kehormatan karena lengkapnya keturunan. saur matua disebut juga dengan acara sampe tua dan sahat matua.
Saur matua adalah meninggal setelah mencapai umur yang tinggi, semua anaknya sudah kawin. Di beberapa daerah tidak cukup hanya menjadi tua dan semua anaknya sudah menikah, tetapi semua anaknya sudah berketurunan; itu berarti ia sudah memiliki cucu dari semua anak-anaknya. Anak-anaknya yang sudah menikah juga sudah melakukan adat yang penuh atau mangadati. Jadi tidak sembarangan untuk masuk ke dalam saur matua.
Setelah acara marria raja; saat meminta nasehat dan petunjuk-petunjuk dari seluruh pihak keluarga, maka esok harinya akan melakukan adat dan mompo yaitu orang meninggal akan dimasukkan ke rumah yang tidak dibuat oleh tangannya (jabujabu na so pinature ni tanganna). Orang meninggal itu akan memasuki tempat yang tidak dibuat olehnya. Dalam bahasa yang lebih konkret mayat itu akan dimasukkan ke dalam peti mati.
Sekilas tentang jenis-jenis kematian bagi orang Batak dibagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian berbeda nilainya. Dalam Batak, orang mati bukan hanya jenazah yang siap untuk dikuburkan.
Tetapi jauh dari situ kematian orang Batak mempunyai makna, melibatkan sistem kekerabatan dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Untuk anak yang meninggal disebut tilaha dan termasuk pemuda yang belum kawin ini belum masuk adat. Untuk orang yang meninggal tanpa keturunan disebut mate punu. Untuk orang yang meninggal dunia pada saat tanggungjawabnya masih banyak misalnya anak-anaknya belum kawin disebut mate mangkar.
Untuk orang yang meninggal dunia tetapi anaknya sudah ada yang kawin meskipun belum semua, karena masih memiliki anak yang perlu untuk diurus (sisarihononna) disebut sari matua. Untuk orang yang meninggal dunia tetapi semua anaknya telah menikah dengan adat yang penuh dan sudah mempunyai keturunan ini disebut saur matua.
Dan satu lagi di atas semua itu adalah saur mauli bulung yaitu untuk orang yang meninggal dunia di mana semua anaknya sudah mempunyai cucu. Dengan kata lain yang meninggal sudah mempunyai cicit atau buyut. Dalam Batak disebut marnini marnono. Dan satu kriteria lagi untuk disebut mauli bulung yaitu belum ada keturunannya yang meninggal sebelum orang tua itu meninggal.

22 April 2014

RADEN ADJENG KARTINI







MENGENANG RADEN ADJENG KARTINI
Oleh: Yeftalius Situmeang
(Tulisan ini didedikasikan kepada Ibunda saya yang tercinta St. S. Hutagalung, cinta saya yang belum dapat-dapat, dan seluruh perempuan di manapun berada).
            Hari Kartini dirayakan setiap 21 April untuk mengenang Raden Adjeng Kartini yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Kartini dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dan pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
            Pada saat Kolonial Belanda peraturan yang berlaku adalah masyarakat umum tidak bisa sekolah dan yang bisa merasakan pendidikan adalah keturunan bangsawan ditambah lagi dengan batasan perempuan tidak bebas untuk sekolah. Tetapi karena Kartini adalah putri Bupati maka ia diperbolehkan sekolah di ELS (Europese Lagere School), di sinilah kesempatan Kartini untuk belajar terutama bahasa Belanda.
Ia membangun jaringan dengan teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Mereka saling mengirim surat, salah satu temannya adalah Rosa Abendanon. Melalui buku-buku, koran, dan majalah Eropa ia mendapatkan inspirasi bahwa cara berpikir perempuan Eropa sangat maju sehingga ia bertekad untuk memperjuangkan perempuan pribumi yang berada dalam belenggu kebodohan dan harkat martabat yang rendah.
            Ia meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada usia 25 tahun. Apa yang membuat Kartini dikenang sampai hari ini? Kartini telah berjasa dalam emansipasi wanita dan turut memperjuangkan kepentingan masyarakat umum. Berkat kerja keras dan dukungan suaminya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Rembang (sekolah itu sekarang digunakan sebagai Gedung Pramuka).
Setelah dia mempelopori sekolah wanita pertama di Indonesia, maka banyak yang terdorong untuk mengikutinya diantaranya Van Deventer seorang tokoh Politik Etis yang mendirikan Yayasan Kartini. Lalu Yayasan Kartini mendirikan sekolah-sekolah wanita di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan banyak daerah lainnya. Selain itu ia membuat inspirasi dan perjuangan-perjuangannya dalam menuntut kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan melalui tulisan-tulisannya.
            Emansipasi wanita yang dikembangkan oleh Kartini, tapi pada masa kini lebih sering disebut dengan istilah kesetaraan gender tetapi isi paradigmanya pada umumnya sama. Kesetaraan gender pada hakekatnya menuntut keadilan supaya laki-laki dan perempuan mendapatkan kesetaraan dalam hak azasi manusia termasuk dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan dalam semua bidang kehidupan. Bahkan dalam keagamaan sendiri perjuangan perempuan mendapat sorotan tersendiri yang dikembangkan dalam teologi feminis.
Sejarah kesetaraan gender dalam teologi berkembang sejak pertengahan tahun 1960-an oleh para teolog wanita seperti Rosemary Radford Ruether, Letty M. Russell dan Elizabeth Schüssler Fiorenza, dan lain-lain. Teologi kesetaraan gender berkembang dengan corak yang berbeda, tetapi pada intinya teologi ini telah mengangkat harkat perempuan agar sederajat dengan pria. Hal itu terlihat dari negara-negara sudah memiliki banyak politisi wanita dan sudah menjadi kepala beberapa instansi.
Contoh lain yang bisa kita lihat dalam bidang politik, perempuan yang pernah menjadi Presiden Indonesia yaitu Megawati Sukarno Putri. Selain dia ada beberapa nama lagi seperti, Suryatati sebagai Wali Kota berhasil dalam memimpin Tanjungpinang lebih baik, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharani, Bupati Karang Anyar Rina Iriani, Nurul Arifin, Retno L.P Marsudi, Eva Kusuma Sundari, Nova Rianti Yusuf, dan lain-lain. Di tingkat internasional ada nama seperti Sri Mulyani Indrawati yang sekarang menjabat sebagai Managing Director di Bank Dunia. Meskipun sewaktu Menteri Keuangan di Indonesia ia terlibat kasus Bank Century. Di kalangan artis banyak perempuan Indonesia yang telah mendunia seperti Agnes Monica, Anggun, dll. Tidak kalah dengan seorang motivator asal Indonesia Merry Riana yang bekerja di Singapura. Tidak hanya dalam politik, perempuan Indonesia juga berkiprah dalam bidang Ekonomi, Sosial, Seni Budaya Hukum, Pers, Teknologi, Kesehatan dan Olah Raga.
Munculnya paham kesetaraan gender dan sejenisnya ini mempunyai dasar dan dampak yang kuat, bahkan disatu sisi akan mempengaruhi sistem paternalisme atau patriarkal. Patriarkal yang cenderung dengan paham segala sesuatu yang berhubungan dengan kebapakan dan penuh dengan dominasi para laki-laki. Padahal tidak bisa ditutupi peran perempuan dalam setiap kehidupan terutama dalam tugas mengurus rumah tangga. Peningkatan kesetaraan gender akan semakin membuka peluang yang besar bagi kemajuan para perempuan dalam politik. Setelah diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai adalah 30% maka ada kemungkinan pada Pemilu 2014 akan meningkatnya jumlah politisi wanita atau caleg. Selain itu program PKK juga semakin memberdayakan para perempuan sekarang.
Perkembangan kesetaraan hak adalah hal yang perlu didukung, tetapi perlu dipertimbangkan supaya perempuan tidak lupa mengevaluasi diri termasuk mengevalusi:
Pertama, sistem feminis yang akan dikembangkan supaya tidak sampai menimbulkan superioritas yang radikal dan fanatis gender yang bisa menindas gender lain. Jika di atas telah dipaparkan tentang kehebatan perempuan maka dibutuhkan suatu evaluasi untuk perempuan. dalam beberapa hal kesetaraan gender akan berbenturan dengan kebudayaan yang masih bersifat patriarkal yang ada dalam budaya daerah tertentu.
Kedua, Kemajuan perempuan membuat peluang meningkatnya jumlah korupsi yang dilakukan oleh perempuan. Kemajuan yang disalah gunakan itu akan membuat citra perempuan semakin buruk terkhusus dalam pekerjaan birokrat. Belakangan ini yang sering terjadi adalah perempuan-perempuan terlibat dalam skandal penyuapan dan korupsi. Pada tanggal 29 Juli 2008 Artalyta Suryani alias Ayin tersangka dalam kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Artalyta dinyatakan bersalah atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS.
Pada 26 Januari 2012 Miranda Swaray Gultom resmi jadi tersangka cek pelawat dan terbukti menyuap Anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Selain itu KPK juga menetapkan Angelina Sondakh sebagai tersangka dalam kasus korupsi dan suap dalam proyek Wisma Atlet di Palembang sejak Jumat, 3 Februari 2012. Nunun Nurbaeti dalam kasus dugaan suap Cek Pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior BI yang hingga saat ini tidak diekspos lagi. Mereka yang terlibat adalah perempuan-perempuan yang memegang jabatan penting dan figur publik yang seharusnya menunjukkan teladan bagi masyarakat umum dan bukan untuk merugikan citra perempuan.
“Tanpa perempuan tidak ada ibu, tanpa ibu tidak ada kita, karena darimana kita lahir?”. Dari situ kita bisa melihat perempuan merupakan citra Allah yang mulia yang semakin cantik jika ia mampu menjaga citranya.

25 Februari 2014

Cerpen Bahasa Batak: SADA BIBEL NAMPUNANA SANDIRI






SADA BIBEL NAMPUNANA SANDIRI
            Ucok anak kalas sada SD na baru masuk tu sikola. Ibana ingkon tinggal di asrama do ala dao do parsingkolaan sian huta nasida.
Nunga sahat ibana di asrama ni sikola na di ari Sabtu. Senin bot ari nai, dang boi tarpodom ibana. Sai marhusari do rohana ada dang adong Bibelna. Sai busisaon ma ibana di podomanna.
            Nantuari di sikola minggu, didokhon guruna do, “Sude hamu dakdanak nami nampuna Bibel martuduma timbo-timbo!.” Sude dakdanak mangangkat Bibel nasida be. Holan si Ucok ma na so adong Bibel na.
            Nangkin manogot, ari parjolo masuk sikola, angka dakdanak masuk kalas nasida.
            “Ganup ari ingkon dimulai do dohot manjaha Bibel jala sude dakdanak ingkon mamboan bibelna sandiri.” ninna guruna.
            Sai diingot ibana ma i bahenna sai busisaon ibana di podomanna i. Aha do na ingkon ulahononna? Dangadong Bibelna jala dangadong hepengna laho manuhor. Tompu ma ro pamingkirion. Dung i dipatigor ibana ma parpeakna, jala mengkel supik sandiri ibana. Gabe boi ma ibana modom.
            Marsogot nai, si Warneck dohot Horas, dongan sa kamar di asrama ni si Ucok, marlojong tu uluan ni asrama. Tung mabiar do nasida idaon.
            “Mago si Ucok,” ninna si Warneck. “Nunga hulului hami manang tudia.”
            “Nunga dilului hamu tu sude asrama dohot tu inganan paridian?” sungkun-sungkun ina asrama i.
            “Olo inong, nunga hulului hami manang tudia,” ninna si Horas.
            Dohot ma ina asrama i mangalului si Ucok, hape dang dapot. Laho ma inang i tu panjaga asrama na asing.
            “Adong nangkin diida hamu si Ucok mulak?” Disungkun inanta i.
            “Daong,” ninna panjaga asrama i. “dangadong namangido mulak.”
            “Na so tarida do si Ucok na baru masuk i ?” ninna uluan ni sikola i topet dibege ibana panghataion i. “Na mulak do ra i tu hutana, ala huida nasogot hira pungkul lima adong do motor (mobil) maradi di harbangan ni sikola i, alai lului hamu ma jolo. ”ninna ma tu ina asrama dohot panjaga asrama i.
Sahali nai dilului nasida ma di humaliang ni asrama i, alai tongtong do dang jumpang si Ucok.
Panjaga asrama i manjou ama Marulam, panapu di sikola i. “Didokhon uluan ni sikola i nangkin, nasogotan hirahira pungkul lima nangkin, adong do motor maradi di harbangan ni sikola. Ra nunga mulak si Ucok, murid kalas sada i, tu hutana mangihut tu motor i, ihuthon ma ibana muse pangke motor paduahon jala lului ma ibana!.”ninna panjaga asrama i laos manuru ama Marulam.
Laho ma ama Marulam tu motor paduahon. Adong do tolu jom ibana di bagasan pardalanan sahat tu sirpang laho tu huta ni si Ucok. Sian i mardalan pat dope ama Marulam hira-hira sada kilometer nai tu jabu ni si Ucok. Toho ma tutu, dapotna ma si Ucok di jabuna. Si Ucok manompang motor alai ndang manggarar ongkos jala mardalan pat ma muse tu jabuna.
“Ucok, boasa lari ho?” sungkun ni ama Marulam, “Ai, ndang sikola ho?”
“Ndang lari au,” ninna si Ucok. “Mulak au naeng mangalap Bibel do.”
“Alai boasa ndang didokhon ho manang tu ise paboa namulak ho?” sungkun ni ama Marulam.
“Daong!” ninna si Ucok tompu. “Ro dope au tibu, na porlu do di au Bibel.” Ninna ma muse mangalusi dohot lambok.
“Dang boi boanonmu Bibel sian jabu on, anaha.” ninna ama Marulam. “Boha annon natorasmu dohot angka hahamu? Nasida pe porlu do Bibel. Ndang boi buatonmu Bibel nasasadaon.”
Gabe gale ma roha ni si Ucok. “Olo tahe” ninna di bagasan rohana. Boi do ibana mulak tu sikola nang pe so mamboan sada Bibel? Murhing do bohina jala ndang tabo panghilalaanna.
“Ucok, mulak ma hita tu sikola, pos do rohangku ina asrama boi mangurupi ho mandapothon sada Bibel.”
Marsogot nai, ama Marulam dohot Ucok mulak ma tu asrama sikola jala mangadopi panjaga asrama.
“Boasa lari ho, Ucok?” disungkun panjaga asrama i. “Harop do roha nami, mian nian roham tinggal di asrama on.” Diantusi si Ucok do panghataion i, ndang boi ibana mulak anggo so dipaboa parjolo. Gabe ninna ibana ma mangalusi: “Sala do au disi, ndang adong rohaku laho lari. Mulak pe au laho mangalap Bibel do.”
“Didia ma Bibel i, Ucok?” sungkun ni panjaga asrama.
“Ndang adong,” ninna si Ucok dohot gale, “Holan sada do Bibel nami, i pe pangkeon ni halak bapa dohot oma do i dohot angka hahaku. Urupi ma ahu, boha do asa adong Bibelhu?”
“Jumpangi ma ina asrama, Ucok,” ninna panjaga asrama i. “Hupingkiri hami pe hatami. Annon dung mulak sikola, tahatai pe i muse ate.” Hobas ma ibana laho mangadopi ina asrama. Mangido maaf ma ibana ala nunga busisaon sude dibahen ibana jolma na adong disi. Sadari i sai hira na ganjang hian do tarhilala.
Ujungna dijou ina asrama dohot uluan ni sikola ma ibana.
“Ucok, olo do hami mangurupi ho” ninna ina asrama, dung i naeng dibuat ma Bibel sian lamari.
“Dang Bibel leanon nami”. Tompu ma mangkuling uluan ni sikola i.
Dung i diuduti ibana ma muse mandok: “Alai boi do hami mangalehon karejo tu ho. Nuaeng musim udan, gabe gok oma ma dalan i jala manutupi dalan. Molo olo do ho mangurupi ama Marulam paiashon dohot manitip oma i asa dalan tu sikola dohot asrama lobi tu dengganna dope. Jala muse bidang do alaman ni sikola on, hape holan ama Marulam do pasaehon. Hulehon hami pe dua pulu ribu rupia di bagasan satonga jom, marhite hepeng naung pinapungumi gabe boi ma ho manuhor Bibel. Boha, olo do ho mangulahon i?”
“Bah, olo amang, huulahon pe. Di huta pe olo do diboan au tu ladang.” ninna Si Ucok dohot las ni roha.
“Andorang so adong Bibelmu pangke ma jolo Bibel na sian asrama on.” Tamba ni hata ni uluan ni sikola i.
Dung pigapiga minggu ibana sikola huhut mangurupi, gabe adong ma hepengna godang so sadia, jala nunga sae laho manuhor Bibel i. Dang holan sae be tahe, gariada adong dope lobi hepengna i.
Gabe adong ma ulaon ni si Ucok dung mulak sikola, angkup ni i gabe mian ma rohana jala lam tamba ma lomo di rohana tu asrama dohot sikola i. Manogot sahat tu arian, sikola do ibana. Dung mulak sikola masuk ma tu asrama laho mangan tugo dohot maradi satongkin. Molo dung jumpang pungkul tolu dohot ma ibana mangurupi ama Marulam laho paiashon sikola i. Molo dung jumpang borngin marsiajar ma ibana, panghorhon ni halalas ni rohana dohot mangarajumi godang ni pangurupion dohot pasupasu na jinalona.