04 Juni 2014

MASIH ADA KASIH DI PANTI KARYA HARAPAN SIANTAR


MASIH ADA KASIH DI PANTI KARYA HARAPAN SIANTAR
Selain enaknya rasa kuliner kota Siantar, ada baiknya singgah di Panti asuhan atau Panti Karya Harapan yang ada di Jalan Bali, Pematangsiantar tepatnya di depan Kampus USI. Di sana kita akan melihat orang-orang yang masuk ke dalam panti dengan ketentuan seperti orang tua yang sudah berumur 56 tahun ke atas.
Berbagai latar belakang orang yang masuk ke panti ini: ada yang terlantar, diantar keluarga, datang sendiri, ada yang ditarik oleh panti itu sendiri. Orang yang akan masuk ke panti pada aturannya harus membawa surat pengantar tidak mampu, surat dari Dinas sosial dan surat berbadan sehat. Namun dalam beberapa kasus seperti orang yang terlantar tidak mungkin untuk membawa surat.
Menurut narasumber yang kami wawancarai yaitu bapak Sabar Benget Sinambela (istri Br. Sitanggang) yang bertugas sebagai pekerja sosial yang mengurus orang-orang tua itu, bahwa jumlah penghuni panti jompo tidak diketahuinya dengan pasti tetapi bisa ditanyakan kepada bagian administrasi, selain itu orang jompo juga sulit dihitung karena jarang semua penghuni bisa berada di lokasi.
Bapak Sinambela menerangkan: “Mereka boleh keluar sebentar, terkadang ada yang dijemput keluarga. Namun sepengetahuan narasumber, ada sekitar 35 orang jompo, namun ada 10 orang yang kurang terima hidup di tempat ini. Dalam satu kamar mereka bisa berjumlah 2-4 orang bahkan ada yang sampai 5 orang, itu sesuai dengan ukuran luas kamar yang tersedia”.
Terangnya, “Awalnya panti ini adalah panti sosial penampungan orang-orang korban peperangan yang berdiri di Paneitongah berkisar tahun 1950-an. Tahun 1960 pindah ke Jln. Sisingamangaraja, Sibatu-batu dan selanjutnya pindah lagi ke tempat sekarang.
Tahun 2010 panti ini diberikan nama UPT Panti Karya Harapan tetapi di dalamnya ada panti jompo dan digabung dengan tuna rungu dan tuna wicara. Panti ini merupakan tanggungan Dinas Sosial milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara” Jelas Pak Sinambela lebih lanjut.
Penghuni panti jompo yang paling tua berumur 96 tahun dan paling muda 48 tahun. Meskipun pada aturannya yang masuk ke panti harus berumur 56 tahun ke atas, namun ada penghuni yang masih berumur 48 tahun.
Hal ini disebabkan karena toleransi yang diberikan oleh panti karena keluarga yang tidak ada lagi maka datang ke tempat tersebut. Panti juga melonggarkan peraturan karena ini adalah sosial dan tenggang rasa. Ada satu keluarga yaitu ibu dan anaknya yang masih berumur 28 tahun tetapi anaknya juga seorang tuna grahita (kurang sehat mental),”jelasnya.
Selain mewawancara pengurus panti tersebut kami juga mewawancarai seorang penghuni panti jompo yang bernama Jumain, orang Jawa, umur 56 tahun asal dari Medan, Padang Bulan, dulu bekerja sebagai tukang bangunan.
Dia memiliki 4 orang anak dan sudah 3 kali menikah. Istri pertama meninggal, kemudian dia sakit-sakitan dan struk. Ia berpikir daripada menyusahkan anak-anaknya dia kawin lagi dengan boru Pasaribu. Tetapi ternyata keluarganya cerai lagi. Setelah cerai maka dia kawin lagi dengan istrinya yang baru.
Istri ketiganya juga meninggalkan dia dan pergi ke Malaysia untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Istrinya tidak pernah pulang dan tidak ada kabar lagi. Demikian juga anak-anaknya yang tidak tahu keberadaannya lagi. 
Dan masih banyak lagi pergumulan pribadi orang tua tersebut. Dia masuk ke panti jompo karena diantar oleh keluarganya dari Bandar karena melihat tidak ada lagi yang mengurusnya.

Acara Marria Raja / Martonggo Raja Dalam Budaya Batak


Siantar, Hetanews.com


Acara Marria Raja / Martonggo Raja Dalam Budaya Batak
Oleh Yefta Situmeang
            Banyak unsur-unsur yang bisa digali dari orang Batak dan ini mengisyaratkan betapa kaya dan indahnya budaya Batak yang penuh dengan makna dan penghormatan. Salah satu budaya Batak  adalah Marria Raja / Martonggo Raja. Sebelum melakukan budaya Batak ini, terlebih dahulu dibuka oleh doa dan ibadah singkat dari pihak Gereja begitu juga dengan penutupan.
Marria raja adalah kegiatan untuk bermusyarawarah, berkumpul dalam jumlah besar, rapat secara bersama-sama. Marria raja hampir sama dengan martonggo raja, tetapi keduanya memiliki perbedaan.
Marria raja mengundang Raja ni hula-hula, Dongan Tubu / Dongan Sabutuha, Ianakhon, Raja dan Dongan Sahuta, dan yang lainnya untuk membicarakan dan meminta nasehat atau masukan bagaimana supaya acara pemakaman untuk besoknya berjalan dengan baik dan menentukan siapa-siapa saja yang masuk adat, mendapat ulos dan jambar.
Pada malam ini Hula-hula berhak untuk memberikan nasehat pada keluarga yang ditinggalkan terutama bagi suami / istri yang ditinggalkan.
Sama seperti marria raja, martonggo raja adalah bermusyawarah yang melibatkan Raja ni hula-hula, Dongan Tubu, Ianakhon, Dongan Sahuta, Raja dan Namora ni huta, serta Pemerintah setempat. tetapi dalam ruang lingkup yang lebih besar.
Dalam martonggo raja sudah ada ternak yang dipotong untuk dimakan sebelum diskusi adat untuk orang yang meninggal itu dan biayanya sudah lebih besar. Di beberapa daerah seperti Tapanuli Tengah tidak ada marria raja, tetapi semua diskusi pada malam hari sebelum penguburan disebut dengan martonggo raja.
Dalam kegiatan ini, perkumpulan membicarakan acara pemakaman atau menurunkan ke kuburan (patuathon tu parbandaan) dan adat yang sesuai dengan itu. Termasuk juga membicarakan cara kerja atau apa yang harus dilakukan pada hari pemakaman dan siapa yang berperan dalam adat itu dan siapa yang masuk acara adat. 
Penting untuk diingat bahwa sebelum dan sesudah melakukan tonggo raja harus dibuka dan ditutup dengan doa. Setelah marria raja selesai dan makam mulai larut maka dibuatlah makanan berjaga bagi pelayat orang mati yang disebut Pandungoi. (Yef)

SAUR MATUA DAN KEMATIAN DALAM BUDAYA BATAK



SAUR MATUA DAN KEMATIAN DALAM BUDAYA BATAK
Pelaksanaan adat bagi orang meninggal berbeda-beda sesuai dengan tingkat hagabeon dari orang yang meninggal. Hagabeon merupakan kehormatan karena lengkapnya keturunan. saur matua disebut juga dengan acara sampe tua dan sahat matua.
Saur matua adalah meninggal setelah mencapai umur yang tinggi, semua anaknya sudah kawin. Di beberapa daerah tidak cukup hanya menjadi tua dan semua anaknya sudah menikah, tetapi semua anaknya sudah berketurunan; itu berarti ia sudah memiliki cucu dari semua anak-anaknya. Anak-anaknya yang sudah menikah juga sudah melakukan adat yang penuh atau mangadati. Jadi tidak sembarangan untuk masuk ke dalam saur matua.
Setelah acara marria raja; saat meminta nasehat dan petunjuk-petunjuk dari seluruh pihak keluarga, maka esok harinya akan melakukan adat dan mompo yaitu orang meninggal akan dimasukkan ke rumah yang tidak dibuat oleh tangannya (jabujabu na so pinature ni tanganna). Orang meninggal itu akan memasuki tempat yang tidak dibuat olehnya. Dalam bahasa yang lebih konkret mayat itu akan dimasukkan ke dalam peti mati.
Sekilas tentang jenis-jenis kematian bagi orang Batak dibagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian berbeda nilainya. Dalam Batak, orang mati bukan hanya jenazah yang siap untuk dikuburkan.
Tetapi jauh dari situ kematian orang Batak mempunyai makna, melibatkan sistem kekerabatan dan harapan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Untuk anak yang meninggal disebut tilaha dan termasuk pemuda yang belum kawin ini belum masuk adat. Untuk orang yang meninggal tanpa keturunan disebut mate punu. Untuk orang yang meninggal dunia pada saat tanggungjawabnya masih banyak misalnya anak-anaknya belum kawin disebut mate mangkar.
Untuk orang yang meninggal dunia tetapi anaknya sudah ada yang kawin meskipun belum semua, karena masih memiliki anak yang perlu untuk diurus (sisarihononna) disebut sari matua. Untuk orang yang meninggal dunia tetapi semua anaknya telah menikah dengan adat yang penuh dan sudah mempunyai keturunan ini disebut saur matua.
Dan satu lagi di atas semua itu adalah saur mauli bulung yaitu untuk orang yang meninggal dunia di mana semua anaknya sudah mempunyai cucu. Dengan kata lain yang meninggal sudah mempunyai cicit atau buyut. Dalam Batak disebut marnini marnono. Dan satu kriteria lagi untuk disebut mauli bulung yaitu belum ada keturunannya yang meninggal sebelum orang tua itu meninggal.