Teologi Kekayaan
(Tinjauan Biblika tentang Uang)
I. Pendahuluan
Uang merupakan
salah satu hal yang paling dikejar atau dicari oleh manusia. Uang
juga merupakan jalan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, oleh sebab itu banyak
orang yang merasa khawatir jika ia tidak mempunyai banyak uang.
Secara
Alkitabiah, uang atau kekayaan merupakan berkat yang diberikan oleh Allah
kepada manusia. Namun perlu kita sadari bahwa uang bukanlah sumber
kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Hal ini perlu kita sadari karena dewasa
ini banyak manusia yang lebih percaya kepada uang daripada kepada Allah atau
bahkan tidak mempercayai Allah lagi. Uang memang perlu dalam kehidupan manusia,
namun ketika uang dipuja atau di-tuhankan, maka hal itulah yang menimbulkan
suatu permasalahan yang besar.
Uang
atau kekayaan yang ada pada kita bukanlah milik kita, namun sebagi titipan Allah
yang harus kita pertanggungjawabkan dihadapanNya. Manusia diberkati dengan
titipanNya itu supaya manusia juga dapat menjadi berkat.
Ada
banyak cerita dalam Alkitab yang membicarakan tentang uang, kekayaan dan
permasalahan yang terkandung di dalamnya, namun pemabahasan dalam hal ini
memberi perhatian tentang uang yang tertulis di dalam Pengkhotbah 5 : 9
(Perjanjian Lama) dan I Timotius 6 :10 (Perjanjian Baru)
Untuk
membahas lebih jauh dan mendalam mengenai uang dan bahaya cinta uang, maka akan
diurai dengan sistematika sebagai berikut:
I.
Pendahuluan
II. Etimologi,
Pengertian dan Sejarah
III. Tinjauan
Alkitabiah tentang Uang
3.1
Tinjauan PL (Pengkhotbah 5 : 9)
3.2
Tinjauan PB (I Timotius 6 : 10)
IV. Sikap
orang Kristen Tarhadap Kekayaan
V. Refleksi
VI. Kesimpulan
Daftar Pustaka
II. Etimologi, Pengertian dan Sejarah
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, uang merupakan alat tukar atau standar pengukur
nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara
berupa kertas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk atau gambar
tertentu.[1]
Dalam
struktur masyarakat Israel, kekayaan adalah identik dengan uang. Uang adalah
sebahagian dari struktur kehidupan mereka.[2]
Dalam Perjanjian Lama, uang pertama sekali diperkenalkan pada akhir abad 8 sM,
sebelumnya pembayaran dilakukan dengan menggunakan sistem barter, yaitu tukar
menukar barang. Uang sebagai alat tukar pada mulanya terbuat dari logam
berharga seperti emas, perak, perunggu. Perak merupakan logam berharga yang
paling banyak digunakan sebagai alat tukar di Palestina (Asyur dan Babel). Oleh
sebab itulah perak ( כסף = kesef )
kadang-kadang diterjemahkan dengan uang (Kej 17:13).[3]
Dalam
PL juga uang dipakai sebagai alat tukar-menukar, pembayaran, dan penimbun kekayaan
(harta benda). Uang juga berfungsi sebagai alat pembiayaan yang telah memainkan
peranannya sejak bangsa Israel meminta seorang raja menjadi pemimpin atas
mereka (1 Sam 8:15), maka para petani harus membayar pajak kepada raja. Hanya
dengan mempertinggi pajaklah Raja Salomo dapat mendirikan istana dan Bait suci
yang indah.[4]
Kata
uang yang diartikan sebagai penimbun kekayaan dapat dilihat dalam kehidupan
Abraham, Ayub, Salomo. Sebagai contoh dalam Kejadian 13 :2 dikatakan bahwa
Abraham memiliki kekayaan berupa ternak, emas dan perak. Akan tetapi harta
tersebut tidak bertentangan dengan kehendak Allah karena harta tersebut bukan
menjadi tujuan hidupnya, tetapi semua itu dijadikan media untuk memuliakan nama
Tuhan Allah.
Dalam
PL, uang kadang-kadang ditimbang (Kej 23 : 16) hal ini dilakukan sebagai tindak
pencegahan, contohnya dalam sistem barter agar jumlah perak (uang) yang ditukar
bernilai sama dengan barang yang ditukar. Akan tetapi dalam kehidupan modern dimana proses
pembuatan uang dan peredarannya sudah dijalankan pemerintah, uang tidak perlu
ditimbang kembali karena pemerintah telah memberikan ketentuan mutlak,
ketentuan nominal, uang telah dibubuhi perangko sebagai tanda dari jumlah dan
nilainya. Bahan dasar uang pada masa modern ini juga tidak hanya terbuat dari
logam seperti emas dan perak tetapi juga ada yang berasal dari kertas, namun
perbedaan itu tidak mempengaruhi nominal uang yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Dalam
PB, sudah ada berbagai uang yang beredar. Uang yang beredar itu terbuat dari
emas, perak, tembaga, perunggu dan kuningan. Namun, bahan utama yang paling
umum digunakan untuk membuat uang adalah perak yang dalam bahasa Yunani disebut
dengan αργυριον (argurion), Istilah
umum lainnya yang digunakan untuk mengartikan uang dalam PB adalah χρεμα (khrema) yang berarti milik atau
kekayaan ayau uang (Kis 4:37 ; 8:18,20 ; 24:26), κερμα (kerma) atau uang
kecil yang artinya mata uang tembaga (Yoh 2:15), νομισμα (nomisma) yaitu mata uang yang sah menurut hukum serta νομισμα του κηνσου (nomisma tou kensou)
yang artinya mata uang yang sah untuk membayar pajak (Mat 22:19).[5]
III. Tinjauan Alkitabiah tentang Uang
3.1 Tinjauan PL (Pengkhotbah 5:9)
“Siapa yang mencintai uang tidak akan
puas dengan uang dan siapa yang mencintai kekayaan tidak akan puas dengan
penghasilannya” Melalui nats ini, Pengkhotbah ingin mengatakan
bahwa uang dan kekayaan merupakan penyebab ketidakbahagiaan dan bukan merupakan
tanda kebaikan, serta bukan suatu kebijaksanaan, melainkan itu semua hanya
menjadikan suatu kesia-siaan.[6]
Kekayaan dan cinta akan uang
bukanlah suatu yang bertahan namun merupakan suatu kesia-siaan. Mereka yang
mencintai uang tidak akan mempunyai komitmen untuk mengolah keuangannya
sebanding dengan kebutuhannya dan tidak sebanding dengan sumber daya dan yang
selalu muncul adalah ketidakpuasan.[7]
Kata “mencintai” pada ayat ini mempunyai arti
mendewakan atau men-tuhankan uang dalam hidupnya dan menggantungkan hidupnya
kepadanya. Kepuasan yang dijanjikan hanya sebuah khayalan belaka yang menyusup
terus-menerus sebab gairah keserakahan sekali dilakukan tidak akan kunjung puas
dan kenyang.[8] Nats
ini bukan bertujuan mengharamkan uang atau kekayaan namun yang dimaksudkan
adalah bahwa hal-hal yang baik di dunia ini semua adalah karunia Allah untuk
dinikmati dengan rasa syukur dan terima kasih. Kunci dari kenikmatan itu adalah
mengetahui kasih karunia Illahi, bukan dengan mencintai uang.[9]
3.2 Tinjauan PB (I Timotius 6:10)
“Karena akar
dari segala kejahatan adalah cinta uang, sebab oleh memburu uanglah orang telah
menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.
Dalam
nats ini, kata uang yang dipakai adalah berasal dari bahasa Yunani αργυριον, kata dasarnya adalah αργος, artinya adalah benda yang
terbuat dari perak atau benda yang bersinar yang dipakai sebagai alat
tukar-menukar atau yang disebut uang. Uang atau perak yang dipakai sebagai alat
tukar, pada dasarnya tidak mengandung dosa, sebab dengan uang juga manusia
dapat berbuat baik (bnd. Luk 8:3). Akan tetapi cinta uang adalah akar dari
segala kejahatan. Kata yang dipakai untuk mengatakan cinta uang adalah φιλαγυρια, dimana perkataan ini
menunjuk kepada sikap manusia dimana cinta uang, mengarahkan hatinya menjadi
milik uang tersebut, hati manusia itu terarah hanya kepada uang. karena hatinya
sudah terarah kepada uang maka ia tidak akan mencintai dan percaya kepada Allah
lagi. Dengan demikian pecinta uang berlawanan dengan pecinta Allah (bnd.Mat
6:24 ; Luk. 16:13).[10]
“cinta uang
adalah akar dari segala kejahatan”. Kata akar dalam bahasa Yunani
yaitu ριξα. Akar merupakan inti
pokok tanaman yang berfungsi untuk mencari makanan, dengan kata lain mencari
sumber kehidupan bagi tanaman itu.[11]
Oleh karena itulah kata “akar” yang dipakai Paulus mengartikan bahwa uang
merupakan akar atau sumber atau awal dari segala kejahatan. Oleh karena itulah
secara Alkitabiah uang sebenarnya tidak salah karena hal itu dipandang sebagai
berkat Allah kepada manusia. Namun permasalahan justru muncul pada oknumnya,
apabila seseorang itu menjadikan uang atau kekayaan sebagai jaminan hidupnya
dan apabila ia juga menduakan Allah terlebih menjadi tidak percaya kepada Allah
karena menganggap segala sesuatu dapat dilakukan dengan uang, maka itulah yang
menjadi permasalahan dalam hidup manusia.
IV. Sikap Orang Kristen Terhadap Kekayaan
Sikap
orang Kristen tarhadap kekayaan atau harta benda mempunyai beberapa ciri, yaitu
:
a)
Ketidakkuatiran
(Luk. 12:22-23, 30-31)
Ketidakkuatiran itu berdasarkan
kepercayaan kepada Allah sebagai Bapa kita (Luk.12:30) Jika kita percaya bahwa
Allah yang Maha Kuasa, pencipta semesta alam adalah Allah yang mengasihi kita, maka
kita akan dapat menghilangkan rasa kuatir kita. Kekuatiran muncul karena orang
takut akan kehidupan masa depannya. Dengan demikian maka orang yang hidup dalam
kekuatiran akan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi kepentingannya
sendiri serta ia tidak akan membagikan sebahagian hartanya untuk menolong orang
lain. Namun kalau kita percaya bahwa Allah mengetahui segala sesuatu kebutuhan
kita dan akan menyertai kita, kita akan percaya dan tidak usah berusaha
mempertahankan hidup dengan hanya mengumpulkan uang. Ketidakkuatiran juga berdasarkan
kesetiaan kepada Tuhan. Dengan demikian kita perlu mengutamakan kerajaan-Nya
(Luk.12:31). Kita tidak dapat mempercayai Allah dan uang secara bersama-sama di
dalam menjalani kehidupan di dunia ini.(Mat.6:24)
b)
Kemurahan
Hati
Manusia perlu memandang harta
bukan sebagai sarana yang menjamin sepenuhnya akan kesejahteraan hidupnya.
Jaminan satu-satunya adalah Tuhan. Akan tetapi sebagai harta dapat dipergunakan
sebagai sarana untuk menolong orang lain. Yesus berkata: “Juallah segala
hartamu dan berikanlah sedekah (Luk.12:33)”, perkataan Yesus tersebut sangat
perlu dilihat bukan sebagai hukum bahwa orang Kristen harus menjual segala
harta miliknya dan bahwa harta kekayaan tidak perlu dalam kehidupan manusia.
Kata “segala” dalam terjemahan LAI tidak terdapat dalam naskah Yunani yang
asli. Yesus berkata bahwa orang Kristen perlu mengasihi sehingga ia bersedia
menjual miliknya bagi kepentingan orang lain. Kasih seperti itu terlihat dalam
jemaat Kristen Yerusalem “selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya
lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluannya
masing-masing” (Kis.2:45). Orang Kristen yang tidak kuatir akan hartanya
cenderung menganggap kepentingan orang lain lebih penting daripada kepentingan
diri sendiri.
Paulus
menuliskan “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini, agar mereka
itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan
dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya
di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (I Tim
6:17-19).
c)
Kebaikan
hati dan Kemurahan
Sikap
ini berlawanan dengan kelobaan. Orang Kristen jangan terus-menerus mengingini
lebih banyak tanpa menghiraukan sesama, ia perlu menyesuaikan kebutuhannya
sendiri dengan kebutuhan orang lain. Ia perlu menyadari bagaimana kelakuannya
dapat menolong atau merugikan sesamanya. Ia tidak berhak mengumpulkan banyak
harta dan hidup mewah tanpa perlu peduli kepada sesamanya yang menderita. Perlu
ada keseimbangan antara kehidupan ekonomi kita dengan ekonomi orang lain.
V. Refleksi
Harta
benda atau uang itu tidaklah berbahaya karena uang pada dasarnya adalah berkat
yang diberikan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Uang atau
harta benda itu diciptakan oleh Allah, dimana segala ciptaanNya adalah baik. Dalam
Alkitab tidak terdapat pikiran bahwa orang Kristen harus menolak harta benda
tetapi memperingatkan tentang bahaya yang dapat ditimbulkannya apabila terjadi
penyalahgunaan pemakaian harta benda itu.
Dalam
peranannya uang dipakai sebagai untuk mencari nafkah. Selain itu uang juga
merupakan alat untuk mencari keuntungan dan alat untuk menimbun harta, dan semua
perannya itu adalah sah-sah saja, namun jika uang dipakai untuk sebagai alat
penindasan dan eksplotasi serta pemerkosaan hak atas orang miskin dan lemah,
maka hal inilah yang dinamakan cinta akan uang dan hal inilah yang menjadi
permasalahan dalam penggunaan uang.
Bahaya
cinta uang itu berdimensi ganda, yaitu :
1. Kekayaan
dapat menyebabkan orang lupa akan Tuhan. Kita dapat mulai mempercayai harta
benda dan kemampuan kita sendiri, bukan Tuhan (bnd.Luk12:16-21)
2. Kekayaan
dapat menumpulkan hati sehingga orang kaya tidak perduli kepada penderitaan
sesamanya. Alkitab penuh dengan contoh-contoh orang kaya yang tidak mau
menolong orang miskin. Yesus menceritakan tentang seorang kaya yang setiap hari
bersukaria dalam kemewahannya tetapi tidak menolong seorang pengemis yang
bernama Lazarus yang berbaring dekat rumah orang kaya itu dan ingin
menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu, tetapi
ia tidak peduli malahan anjing-anjing datang dan menjilati boroknya
(bnd.Luk.16:19-21).
Melihat bahaya yang ditimbulkan
dari rasa cinta uang ini, maka gereja harus melihat hal ini sebagai bagian yang
sangat penting dan teladan ini harus ditumbuhkan pertama-tama dari lingkungan
gereja itu sendiri. Maka hal yang perlu diperhatikan gereja adalah mengatur
keuangan gereja dengan baik dalam arti lain dapat dikatakan agar cinta uang itu
tidak tumbuh dilingkungan gereja dengan bentuk-bentuk korupsi. Selain itu
gereja hendaknya menegaskan kepada jemaat agar tidak kuatir tentang uang, uang
bukanlah menjadi penghalang bagi jemaat untuk beribadah Minggu karena yang
dibutuhkan dalam ibadah adalah ketulusan hati, bukan kekayaan. Allah tidak
pernah mengkehendaki kekayaan manusia, karena Dia-lah sumber kekayaan itu.
Orang
Kristen perlu menerima dengan ucapan syukur harta yang dikaruniakan Tuhan itu,
ucapan syukur itu harus diwujudnyatakan dengan pelayanan terhadap sesama
manusia yang membutuhkan pertolongan akan kebutuhan hidupnya dan juga pelayanan
kepada Allah. dalam arti berkat yang diberikan Allah berupa uang itu digunakan sesuai
dengan kehendak-Nya dan menjadi berkat bagi orang lain.
Kesimpulan
Kekayaan
atau uang adalah karunia yang diberikan Allah kepada manusia, karena pada
dasarnya uang adalah pemenuhan pokok manusia dimana uang dipakai sebagai alat
tukar resmi. Namun manusia mulai beranggapan bahwa dengan uang maka segala
sesuatunya dapat dilakukan semaunya. Atas dasar inilah muncul rasa cinta uang
yang sangat, demi uang ia rela melakukan apa saja.
Atas
dasar Alkitab, maka kekristenan menolak rasa cinta uang tersebut karena cinta
uang cenderung memunculkan sikap dualisme dalam ketuhanan, Injil sendiri
menolak paham yang menduakan Allah (bnd.Luk 6:24)
Dalam
hal ini bukan berarti bahwa orang Kristen atau orang percaya tidak boleh
bekerja untuk mencari uang dan menjadi kaya akan tetapi yang diharapkan adalah
agar orang Kristen benar-benar menjadikan uang sebagaimana fungsinya dan
terutama sebagai alat pelayanan kepada manusia dan kepada Allah.
Daftar
Pustaka
Baker, F.L
1982 Sejarah Kerajaan Allah P.Lama,
(Jakarta: BPK-GM)
Barton, Jhon &
Muddiman, Jhon
2001
The Oxford Bible
Commentary, (New York: Oxford University Press)
2002
Brownlee, Malcolm
2004 Tugas Manusia dalam
Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK-GM)
Departemen Pendidikan
Nasional
2002
Kamus Besar Bahasa Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka)
Douglas, J.D
(penyunting),
1999 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II, (Jakarta:YayasanBina
Kasih/OMF
Frierich,
Gerard
1968 Theological of The New
Testament VI, (Grand
Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing Company)
Knight, George W
1992 Commentary on The Pastoral Epistles,
(Carlisle: Patyernoster Press)
Pfeifer, Robert H
1948 Introduction to The Old Testament, (New
York: Harper and Brother Publisher)
Whybray, R.N
1989 The New Century Bible Commentary Ecclesiates, (Grand
Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing Company)
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), hlm. 1232
[2] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 84
[3]J.D Douglas (penyunting), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF,
1999), hlm. 515
[4] F.L Baker, Sejarah
Kerajaan Allah P.Lama, (Jakarta: BPK-GM, 1982), hlm. 74
[5] J.D Douglas (penyunting), Ensiklopedi II: hlm.518
[6] R.N Whybray, The
New Century Bible Commentary Ecclesiates, (Grand Rapids-Michigan: W.M
Eerdmans Publishing Company, 1989), hlm. 99
[7] Jhon Barton & Jhon Muddiman, The Oxford Bible Commentary, (New York:
Oxford University Press, 2001), hlm. 425
[8] Robert H Pfeifer, Introduction to The Old
Testament, (New York: Harper and Brother publisher, 1948), hlm. 725
[9] George W Knight, Commentary on The Pastoral Epistles, (Carlisle: Patyernoster Press,
1992), hlm. 257
[10] Gerard Frierich, Theological of The New Testament VI, (Grand Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing
Company, 1968), hlm. 893-985
[11] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia: hlm. 88