18 Februari 2025

Teologi Kekayaan (Tinjauan Biblika tentang Uang)

 

Teologi Kekayaan

(Tinjauan Biblika tentang Uang)

 

I.      Pendahuluan

Uang merupakan salah satu hal yang paling dikejar atau dicari oleh manusia. Uang juga merupakan jalan pemenuhan kebutuhan hidup manusia, oleh sebab itu banyak orang yang merasa khawatir jika ia tidak mempunyai banyak uang.

Secara Alkitabiah, uang atau kekayaan merupakan berkat yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Namun perlu kita sadari bahwa uang bukanlah sumber kebahagiaan dalam kehidupan manusia. Hal ini perlu kita sadari karena dewasa ini banyak manusia yang lebih percaya kepada uang daripada kepada Allah atau bahkan tidak mempercayai Allah lagi. Uang memang perlu dalam kehidupan manusia, namun ketika uang dipuja atau di-tuhankan, maka hal itulah yang menimbulkan suatu permasalahan yang besar.

Uang atau kekayaan yang ada pada kita bukanlah milik kita, namun sebagi titipan Allah yang harus kita pertanggungjawabkan dihadapanNya. Manusia diberkati dengan titipanNya itu supaya manusia juga dapat menjadi berkat.

Ada banyak cerita dalam Alkitab yang membicarakan tentang uang, kekayaan dan permasalahan yang terkandung di dalamnya, namun pemabahasan dalam hal ini memberi perhatian tentang uang yang tertulis di dalam Pengkhotbah 5 : 9 (Perjanjian Lama) dan I Timotius 6 :10 (Perjanjian Baru)

Untuk membahas lebih jauh dan mendalam mengenai uang dan bahaya cinta uang, maka akan diurai dengan sistematika sebagai berikut:

I.                Pendahuluan

II.    Etimologi, Pengertian dan Sejarah

III. Tinjauan Alkitabiah tentang Uang

3.1       Tinjauan PL (Pengkhotbah 5 : 9)

3.2       Tinjauan PB (I Timotius 6 : 10)

IV. Sikap orang Kristen Tarhadap Kekayaan

V.    Refleksi

VI. Kesimpulan

Daftar Pustaka

II.   Etimologi, Pengertian dan Sejarah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, uang merupakan alat tukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk atau gambar tertentu.[1]

Dalam struktur masyarakat Israel, kekayaan adalah identik dengan uang. Uang adalah sebahagian dari struktur kehidupan mereka.[2] Dalam Perjanjian Lama, uang pertama sekali diperkenalkan pada akhir abad 8 sM, sebelumnya pembayaran dilakukan dengan menggunakan sistem barter, yaitu tukar menukar barang. Uang sebagai alat tukar pada mulanya terbuat dari logam berharga seperti emas, perak, perunggu. Perak merupakan logam berharga yang paling banyak digunakan sebagai alat tukar di Palestina (Asyur dan Babel). Oleh sebab itulah perak ( כסף = kesef ) kadang-kadang diterjemahkan dengan uang (Kej 17:13).[3]

Dalam PL juga uang dipakai sebagai alat tukar-menukar, pembayaran, dan penimbun kekayaan (harta benda). Uang juga berfungsi sebagai alat pembiayaan yang telah memainkan peranannya sejak bangsa Israel meminta seorang raja menjadi pemimpin atas mereka (1 Sam 8:15), maka para petani harus membayar pajak kepada raja. Hanya dengan mempertinggi pajaklah Raja Salomo dapat mendirikan istana dan Bait suci yang indah.[4]

Kata uang yang diartikan sebagai penimbun kekayaan dapat dilihat dalam kehidupan Abraham, Ayub, Salomo. Sebagai contoh dalam Kejadian 13 :2 dikatakan bahwa Abraham memiliki kekayaan berupa ternak, emas dan perak. Akan tetapi harta tersebut tidak bertentangan dengan kehendak Allah karena harta tersebut bukan menjadi tujuan hidupnya, tetapi semua itu dijadikan media untuk memuliakan nama Tuhan Allah.

Dalam PL, uang kadang-kadang ditimbang (Kej 23 : 16) hal ini dilakukan sebagai tindak pencegahan, contohnya dalam sistem barter agar jumlah perak (uang) yang ditukar bernilai sama dengan barang yang ditukar. Akan tetapi  dalam kehidupan modern dimana proses pembuatan uang dan peredarannya sudah dijalankan pemerintah, uang tidak perlu ditimbang kembali karena pemerintah telah memberikan ketentuan mutlak, ketentuan nominal, uang telah dibubuhi perangko sebagai tanda dari jumlah dan nilainya. Bahan dasar uang pada masa modern ini juga tidak hanya terbuat dari logam seperti emas dan perak tetapi juga ada yang berasal dari kertas, namun perbedaan itu tidak mempengaruhi nominal uang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam PB, sudah ada berbagai uang yang beredar. Uang yang beredar itu terbuat dari emas, perak, tembaga, perunggu dan kuningan. Namun, bahan utama yang paling umum digunakan untuk membuat uang adalah perak yang dalam bahasa Yunani disebut dengan αργυριον (argurion), Istilah umum lainnya yang digunakan untuk mengartikan uang dalam PB adalah χρεμα (khrema) yang berarti milik atau kekayaan ayau uang (Kis 4:37 ; 8:18,20 ; 24:26), κερμα (kerma) atau uang kecil yang artinya mata uang tembaga (Yoh 2:15), νομισμα (nomisma) yaitu mata uang yang sah menurut hukum serta νομισμα του κηνσου (nomisma tou kensou) yang artinya mata uang yang sah untuk membayar pajak (Mat 22:19).[5]

III.  Tinjauan Alkitabiah tentang Uang

3.1 Tinjauan PL (Pengkhotbah 5:9)

Siapa yang mencintai uang tidak akan puas dengan uang dan siapa yang mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya Melalui nats ini, Pengkhotbah ingin mengatakan bahwa uang dan kekayaan merupakan penyebab ketidakbahagiaan dan bukan merupakan tanda kebaikan, serta bukan suatu kebijaksanaan, melainkan itu semua hanya menjadikan suatu kesia-siaan.[6]

Kekayaan dan cinta akan uang bukanlah suatu yang bertahan namun merupakan suatu kesia-siaan. Mereka yang mencintai uang tidak akan mempunyai komitmen untuk mengolah keuangannya sebanding dengan kebutuhannya dan tidak sebanding dengan sumber daya dan yang selalu muncul adalah ketidakpuasan.[7]

Kata “mencintai” pada ayat ini mempunyai arti mendewakan atau men-tuhankan uang dalam hidupnya dan menggantungkan hidupnya kepadanya. Kepuasan yang dijanjikan hanya sebuah khayalan belaka yang menyusup terus-menerus sebab gairah keserakahan sekali dilakukan tidak akan kunjung puas dan kenyang.[8] Nats ini bukan bertujuan mengharamkan uang atau kekayaan namun yang dimaksudkan adalah bahwa hal-hal yang baik di dunia ini semua adalah karunia Allah untuk dinikmati dengan rasa syukur dan terima kasih. Kunci dari kenikmatan itu adalah mengetahui kasih karunia Illahi, bukan dengan mencintai uang.[9]

3.2 Tinjauan PB (I Timotius 6:10)

Karena akar dari segala kejahatan adalah cinta uang, sebab oleh memburu uanglah orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.

Dalam nats ini, kata uang yang dipakai adalah berasal dari bahasa Yunani αργυριον, kata dasarnya adalah αργος, artinya adalah benda yang terbuat dari perak atau benda yang bersinar yang dipakai sebagai alat tukar-menukar atau yang disebut uang. Uang atau perak yang dipakai sebagai alat tukar, pada dasarnya tidak mengandung dosa, sebab dengan uang juga manusia dapat berbuat baik (bnd. Luk 8:3). Akan tetapi cinta uang adalah akar dari segala kejahatan. Kata yang dipakai untuk mengatakan cinta uang adalah φιλαγυρια, dimana perkataan ini menunjuk kepada sikap manusia dimana cinta uang, mengarahkan hatinya menjadi milik uang tersebut, hati manusia itu terarah hanya kepada uang. karena hatinya sudah terarah kepada uang maka ia tidak akan mencintai dan percaya kepada Allah lagi. Dengan demikian pecinta uang berlawanan dengan pecinta Allah (bnd.Mat 6:24 ; Luk. 16:13).[10]

cinta uang adalah akar dari segala kejahatan”. Kata akar dalam bahasa Yunani yaitu ριξα. Akar merupakan inti pokok tanaman yang berfungsi untuk mencari makanan, dengan kata lain mencari sumber kehidupan bagi tanaman itu.[11] Oleh karena itulah kata “akar” yang dipakai Paulus mengartikan bahwa uang merupakan akar atau sumber atau awal dari segala kejahatan. Oleh karena itulah secara Alkitabiah uang sebenarnya tidak salah karena hal itu dipandang sebagai berkat Allah kepada manusia. Namun permasalahan justru muncul pada oknumnya, apabila seseorang itu menjadikan uang atau kekayaan sebagai jaminan hidupnya dan apabila ia juga menduakan Allah terlebih menjadi tidak percaya kepada Allah karena menganggap segala sesuatu dapat dilakukan dengan uang, maka itulah yang menjadi permasalahan dalam hidup manusia.

IV.   Sikap Orang Kristen Terhadap Kekayaan

Sikap orang Kristen tarhadap kekayaan atau harta benda mempunyai beberapa ciri, yaitu :

a)     Ketidakkuatiran (Luk. 12:22-23, 30-31)

Ketidakkuatiran itu berdasarkan kepercayaan kepada Allah sebagai Bapa kita (Luk.12:30) Jika kita percaya bahwa Allah yang Maha Kuasa, pencipta semesta alam adalah Allah yang mengasihi kita, maka kita akan dapat menghilangkan rasa kuatir kita. Kekuatiran muncul karena orang takut akan kehidupan masa depannya. Dengan demikian maka orang yang hidup dalam kekuatiran akan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya demi kepentingannya sendiri serta ia tidak akan membagikan sebahagian hartanya untuk menolong orang lain. Namun kalau kita percaya bahwa Allah mengetahui segala sesuatu kebutuhan kita dan akan menyertai kita, kita akan percaya dan tidak usah berusaha mempertahankan hidup dengan hanya mengumpulkan uang. Ketidakkuatiran juga berdasarkan kesetiaan kepada Tuhan. Dengan demikian kita perlu mengutamakan kerajaan-Nya (Luk.12:31). Kita tidak dapat mempercayai Allah dan uang secara bersama-sama di dalam menjalani kehidupan di dunia ini.(Mat.6:24)

b)     Kemurahan Hati

Manusia perlu memandang harta bukan sebagai sarana yang menjamin sepenuhnya akan kesejahteraan hidupnya. Jaminan satu-satunya adalah Tuhan. Akan tetapi sebagai harta dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menolong orang lain. Yesus berkata: “Juallah segala hartamu dan berikanlah sedekah (Luk.12:33)”, perkataan Yesus tersebut sangat perlu dilihat bukan sebagai hukum bahwa orang Kristen harus menjual segala harta miliknya dan bahwa harta kekayaan tidak perlu dalam kehidupan manusia. Kata “segala” dalam terjemahan LAI tidak terdapat dalam naskah Yunani yang asli. Yesus berkata bahwa orang Kristen perlu mengasihi sehingga ia bersedia menjual miliknya bagi kepentingan orang lain. Kasih seperti itu terlihat dalam jemaat Kristen Yerusalem “selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluannya masing-masing” (Kis.2:45). Orang Kristen yang tidak kuatir akan hartanya cenderung menganggap kepentingan orang lain lebih penting daripada kepentingan diri sendiri.

Paulus menuliskan “Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini, agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (I Tim 6:17-19).

c)      Kebaikan hati dan Kemurahan

Sikap ini berlawanan dengan kelobaan. Orang Kristen jangan terus-menerus mengingini lebih banyak tanpa menghiraukan sesama, ia perlu menyesuaikan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain. Ia perlu menyadari bagaimana kelakuannya dapat menolong atau merugikan sesamanya. Ia tidak berhak mengumpulkan banyak harta dan hidup mewah tanpa perlu peduli kepada sesamanya yang menderita. Perlu ada keseimbangan antara kehidupan ekonomi kita dengan ekonomi orang lain.

V.   Refleksi

Harta benda atau uang itu tidaklah berbahaya karena uang pada dasarnya adalah berkat yang diberikan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Uang atau harta benda itu diciptakan oleh Allah, dimana segala ciptaanNya adalah baik. Dalam Alkitab tidak terdapat pikiran bahwa orang Kristen harus menolak harta benda tetapi memperingatkan tentang bahaya yang dapat ditimbulkannya apabila terjadi penyalahgunaan pemakaian harta benda itu.

Dalam peranannya uang dipakai sebagai untuk mencari nafkah. Selain itu uang juga merupakan alat untuk mencari keuntungan dan alat untuk menimbun harta, dan semua perannya itu adalah sah-sah saja, namun jika uang dipakai untuk sebagai alat penindasan dan eksplotasi serta pemerkosaan hak atas orang miskin dan lemah, maka hal inilah yang dinamakan cinta akan uang dan hal inilah yang menjadi permasalahan dalam penggunaan uang.

Bahaya cinta uang itu berdimensi ganda, yaitu :

1. Kekayaan dapat menyebabkan orang lupa akan Tuhan. Kita dapat mulai mempercayai harta benda dan kemampuan kita sendiri, bukan Tuhan (bnd.Luk12:16-21)

2. Kekayaan dapat menumpulkan hati sehingga orang kaya tidak perduli kepada penderitaan sesamanya. Alkitab penuh dengan contoh-contoh orang kaya yang tidak mau menolong orang miskin. Yesus menceritakan tentang seorang kaya yang setiap hari bersukaria dalam kemewahannya tetapi tidak menolong seorang pengemis yang bernama Lazarus yang berbaring dekat rumah orang kaya itu dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu, tetapi ia tidak peduli malahan anjing-anjing datang dan menjilati boroknya (bnd.Luk.16:19-21).

Melihat bahaya yang ditimbulkan dari rasa cinta uang ini, maka gereja harus melihat hal ini sebagai bagian yang sangat penting dan teladan ini harus ditumbuhkan pertama-tama dari lingkungan gereja itu sendiri. Maka hal yang perlu diperhatikan gereja adalah mengatur keuangan gereja dengan baik dalam arti lain dapat dikatakan agar cinta uang itu tidak tumbuh dilingkungan gereja dengan bentuk-bentuk korupsi. Selain itu gereja hendaknya menegaskan kepada jemaat agar tidak kuatir tentang uang, uang bukanlah menjadi penghalang bagi jemaat untuk beribadah Minggu karena yang dibutuhkan dalam ibadah adalah ketulusan hati, bukan kekayaan. Allah tidak pernah mengkehendaki kekayaan manusia, karena Dia-lah sumber kekayaan itu.

Orang Kristen perlu menerima dengan ucapan syukur harta yang dikaruniakan Tuhan itu, ucapan syukur itu harus diwujudnyatakan dengan pelayanan terhadap sesama manusia yang membutuhkan pertolongan akan kebutuhan hidupnya dan juga pelayanan kepada Allah. dalam arti berkat yang diberikan Allah berupa uang itu digunakan sesuai dengan kehendak-Nya dan menjadi berkat bagi orang lain.

Kesimpulan

Kekayaan atau uang adalah karunia yang diberikan Allah kepada manusia, karena pada dasarnya uang adalah pemenuhan pokok manusia dimana uang dipakai sebagai alat tukar resmi. Namun manusia mulai beranggapan bahwa dengan uang maka segala sesuatunya dapat dilakukan semaunya. Atas dasar inilah muncul rasa cinta uang yang sangat, demi uang ia rela melakukan apa saja.

Atas dasar Alkitab, maka kekristenan menolak rasa cinta uang tersebut karena cinta uang cenderung memunculkan sikap dualisme dalam ketuhanan, Injil sendiri menolak paham yang menduakan Allah (bnd.Luk 6:24)

Dalam hal ini bukan berarti bahwa orang Kristen atau orang percaya tidak boleh bekerja untuk mencari uang dan menjadi kaya akan tetapi yang diharapkan adalah agar orang Kristen benar-benar menjadikan uang sebagaimana fungsinya dan terutama sebagai alat pelayanan kepada manusia dan kepada Allah.

 

Daftar Pustaka

Baker, F.L

1982                           Sejarah Kerajaan Allah P.Lama, (Jakarta: BPK-GM)

Barton, Jhon & Muddiman, Jhon

2001                                                                               The Oxford Bible Commentary, (New York: Oxford University Press)

2002                                                       Brownlee, Malcolm

2004                           Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK-GM)

Departemen Pendidikan Nasional

2002                                                       Kamus Besar Bahasa Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka)

Douglas, J.D (penyunting),

1999                           Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II, (Jakarta:YayasanBina Kasih/OMF

Frierich, Gerard

1968                           Theological of The New Testament VI, (Grand Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing Company)

Knight, George W

1992                           Commentary on The Pastoral Epistles, (Carlisle: Patyernoster Press)

Pfeifer, Robert H

1948                           Introduction to The Old Testament, (New York: Harper and Brother Publisher)

Whybray, R.N

1989                            The New Century Bible Commentary Ecclesiates, (Grand Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing Company)

 



[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1232

[2] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, (Jakarta: BPK-GM, 2004), hlm. 84

[3]J.D Douglas (penyunting), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini II, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1999), hlm. 515

[4] F.L Baker, Sejarah Kerajaan Allah P.Lama, (Jakarta: BPK-GM, 1982), hlm. 74

[5] J.D Douglas (penyunting), Ensiklopedi II: hlm.518

[6] R.N Whybray, The New Century Bible Commentary Ecclesiates, (Grand Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing Company, 1989), hlm. 99 

[7] Jhon Barton & Jhon Muddiman, The Oxford Bible Commentary, (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 425

[8] Robert H Pfeifer, Introduction to The Old Testament, (New York: Harper and Brother publisher, 1948), hlm. 725

[9] George W Knight, Commentary on The Pastoral Epistles, (Carlisle: Patyernoster Press, 1992), hlm. 257

[10] Gerard Frierich, Theological of The New Testament VI, (Grand Rapids-Michigan: W.M Eerdmans Publishing Company, 1968), hlm. 893-985 

[11] Malcolm Brownlee, Tugas Manusia: hlm. 88

14 Februari 2025

TEOLOGI EKOLOGI

 

TEOLOGI  EKOLOGI

 

                                                                                           

I.                   PENDAHULUAN

Pada masa kini kita semua menyaksikan bahkan sebagian dari kita ikut serta di dalam mengurangi kualitas lingkungan hidup yang baik. Padahal pada hakikatnya Tuhan Allah telah memberikan kita kepercayaan alias mandat untuk menikmati sekaligus menjaga lingkungan. Lalu kalau bumi ini rusak, siapa yang akan merawatnya??? Secara teologis keberadan manusia “sebagai gambar Allah” bukanlah terutama sebagai hak istimewa, melainkan sebagai “tanggungjawab istimewa” sebagaimana Allah percayakan kepada manusia untuk merawat ciptaannya.

Secara teologis manusia dan mahluk hidup memiliki beberapa persamaan, diantaranya:

-          Sama-sama sebagai ciptaan Allah (Kej. 1)

-          Segala sesuatu yang bernafas memuji Tuhan (Maz 150)

-          Sama-sama milik Allah dan menerima kehidupan dari Allah (Kol. 1: 16-17)

Manusia bukanlah pusat dan pemilik ciptaan. Kita adalah bagian dari ciptaan. “kita lebih merupakan milik bumi ketimbang kita sebagai pemilik bumi” (Bryan Sirshio). [1]

 

II.                TERMINOLOGI

Untuk memahami arti terminologi Teologi Ekologi, maka sebaiknya pada awal pembahasan ini perlu diberikan penjelasan kedua istilah tersebut, yakni teologi dan ekologi tersebut. Istilah Teologi berasal dari bahasa Yunani: Theos (Allah) dan Logia (perkataan-perkataan). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Teologi adalah: perkatan-perkataan tentang Allah. Istilah Teologia di dalam tujuannya : berupaya untuk membahasakan isi iman Kristen sejernih dan selogis mungkin.[2] Maksudnya bahwa pemahaman teologia berarti melibatkan manusia untuk meneliti lebih jauh secara sengaja, kritis, analitis, logis, argumentatif tentang Allah. Atau dapat kita katakan bahwa Teologia adalah suatu upaya untuk menyederhanakan pengertian tentang Allah agar dapa dipahami lebih mudah oleh semua umat manusia.[3]

Selanjutnya, menurut  Webster’s New World Dictionary istilah ekologi (ecology) yang dikutip dari bahasa Yunani ekologie (N) atau oikos dijelaskan demikian: oikos artinya rumah atau tempat tinggal. Sedangkan yang dimaksud dengan ekologi adalah:

-          the branch of biology that deals with the relations between living organisms and their environment ( bagian dari ilmu mahluk hidup yang membicarakan tentang hubungan organisme-organisme mahluk hidup dengan lingkungannya).

-          The compleks of  relation between a spesific organism and its environment (keseluruhan hubungan antara suatu organisme tertentu dengan lingkungannya.)

Hampir sama dengan itu Ecology menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary menjelaskan sebagai berikut:

-          the natural relationship between plant, animal, plants and people, and the places in which they live (hubungan secarala alamiah antara tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia dan dengan tempat dimana mereka berada.)[4]

Dalam kitab Perjanjian Lama istilah ekologi disebut dengan kata bayit yang artinya rumah tempat tinggal (sementara) atau kemah. Kata yang mirip dengan bayit adalah ohel (kemah) yang artinya tempat tinggal. Dalam dunia semit kuno bayit adalah tempat tinggal sementara yang berbentuk gua, sehingga bayit dapat juga disebut sebagai gua. Sementara istilah yang umum dipakai untuk gua dalam bahasa Ibrani adalah me’arah dan untuk untuk menyatakan tempat tinggal atau bangunan adalah birah yang artinya istana atau rumah. Istilah lain yang memiliki ari yang hampir sama yaitu He Kaal artinya istana atau bait suci. Chatser artinya kediaman, desa atau tempat tinggal. Moshab artinya tempat tinggal atau domisili. Ma’on adalah tempat pengungsian dan juga tempat tinggal. Mikhades artinya tempat kudus.[5]

Demikian juga kata bayit  dalam kitab Perjanjian baru (bahasa Yunani) istliah ekologi itu berasal dari dua kata yakni oikos yang artinya suatu rumah  Sedangkan kata logos  yang artinya perkataan-perkataan atau ilmu. [6] Dalam kitab perjanjian Baru kata logos dapat juga berarti sutau rumah atau tempat berdomisili (Mat. 9: 6-7; Mark 2. 1, 11; 3; 20). Kata ini juga memiliki arti rumah tempat tinggal atau tempat duduk (Mat. 22: 38), suatu rumah suci, rumah tangga (Luk. 10: 5), suatu keluarga suci (I Pet. 2: 3), garis keturunan (Luk. 1: 27), dan kalau terjemahan dari bahasa Ibrani artinya umat atau bangsa (Mat. 10: 6; 15: 25).[7]

Dari semua uraian tersebut di atas dapat dapat kita simpulkan bahwa istilah ekologi memiliki arti sebagai ilmu tentang hubungan (relasi) antara mahluk hidup dan lingkungannya atau lebih jelas tentang hubungan timbal balik atara organisme (sekelompok organisme) dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan hidup dapat kita artikan sebagai: alam dengan segala kekayaanya serta organisme yang ada di dalamnya (termasuk manusia) yang memiliki hubungan timbal-balik dan saling membutuhkan.[8]

Menurut sejarahnya suatu kali Paus Johanes Paulus II telah memproklamirkan Santo Franciscus dari Assisi, seorang biarawan Italia yang hidup pada abad ke 12 sebagai Bapak Suci Ekologi, karena pernyataannya : “ alam sebagai karunia Tuhan yang maha indah kepada umat manusia.[9]

 

III.             LATARBELAKANG PERJANJIAN LAMA

Kepercayan umat Israel akan Allah sebagai pencipta alam semesta pada awalnya muncul sebagi reaksi terhadap landasan keagamaan dari tatanan sosial politik yang dianggap tidak boleh diganggu gugat di negeri-negeri besar di sekitarnya.[10] Di negeri Mesir kuno pada zaman kelahiran bangsa Israel pranata yang tak dapat berubah sudah menjadi hal yang tidak boleh dipertanyakan lagi. Raja Mesir Firaun menjalankan peran sebagai penjamin pranata itu. Maka semua orang harus tunduk kepadanya. Selanjutnya Allah memperkenalkan diri kepada Musa sebagai Yahwe. Allah yang setia yang membawa mereka keluar dari perbudakan dan memilih mereka sebagai umatNya. [11]

Alam semesta yang berjalan teratur menurut kaidah-kaidah logos atau akal budi bukanlah tujuan cerita penciptaan tersebut. Apa yang mau ditonjolkan adalah bahwa keteraturan alam semesta akan terjadi bila kehendak Allah ditaati, sebaliknya kemerosotan alam semesta bila kehendak Allah dilanggar. Ciptaan diberi tugas masing-masing antara lain: bumi bertugas untuk menghasilkan tumbuhan dan mahluk-mahluk hidup, benda-benda langit untuk mengatur musim. Jadi keteraturan alam semesta dijamin oleh kesetiaan Allah (Kej 8: 21;9:13-17). Kisah awal penciptaan digambarkan penuh kebaikan, keteraturan, keselarasan sebagaimana terdapat pada Kej 1 + 2. Selanjutnya diceritakan bahwa sebab musabab terpecah belahnya umat manusia diceritakan dalam kisah menara Babel yang diakibatkan oleh pembelotan ciptaan itu terhadap penciptanya (Kej 11). Kendati demikian pencipta masih ingin mengembalikan kelestarian melalui panggilan dan janji keturunan, tanah serta berkat kepada semua bangsa. Jelasnya tema dosa dan penebusan bersangkutpaut dengan kehancuran alam ciptaan dan pembaharuan ciptaan oleh Allah yang diteguhkan oleh Allah sendiri sebagaimana kita temui pada kisah Nuh (Kej 6-8). [12]

Dunia ini diciptakan sebagai tempat untuk hidup dan berinteraksi dengan alam yang merupakan kehendak Allah. Dalam pemberitaan Alkitab diceriterakan bahwa Tuhan telah menciptakan alam, organisme masing-masing-masing diberi kehidupan, karena semua yang dciptakan oleh Allah tersebut baik atau sempurna adanya. Dengan istilah sempurna ini maka situasi yang tersirat didalamnya adalah kesempurnaan dalam arti bahwa hubungan semua organisme dengan lingkungannya hidup dan terwujud dalam situasi yang harmonis dan lestari (semuanya hidup baik tanpa ada kerusakan).[13]

Dalam kitab PL mengenai penciptaan sebagaimana terdapat pada Kej. 1: 28 kita dapat membaca : “penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Titah Allah dalam ayat tersebut memberikan dan menyerahkan kepada manusia hak kekuasaan, hak pemerintahan dan hak pemeliharaan atas bumi dan segala isinya. Dibandingkan dengan ciptaan Tuhan lainnya khusus dari binatang-binatang, manusia memperoleh hak istimewa. Manusia diberikan Tuhan suatu kedudukan istimewa di atas semesta alam. Dalam perintah dan titah Tuhan kepada manusia sebagai mahkota dari ciptaan Tuhan itu, sudah termasuk kewajiban untuk memelihara, mengindahkan, menguasai dan menyelidiki dunia. Dengan kata lain: manusia ditugaskan  untuk melakukan kebudayaan dan pembangunan.

Dalam Kejadian 1:26 Allah mengatakan: “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”. Allah berbicara dalam hal ini dalam bentuk jamak, yaitu ‘Kita’. Kita (manusia) tidak dapat menggambarkan Allah, Raja semesta alam yang bertahta di Surga, tanpa dewa sorgawi (bd Yes 6:5). Ada penafsir yang mengatakan, bahwa kata ‘kita’ dalam uraian Allah disini merupakan suatu ‘jamak kehormatan’ (plularis maiestaticus), dan ada juga seorang penafsir mengatakan bahwa pembicaraan Allah dalam ayat ini adalah pembicaraan Allah Tritunggal. Nampaknya gambaran yang dimaksudkan dalam pembicaraan pada ayat ini adalah sebagai pembicaraan Allah di dalam suatu upacara bersama rombonganNya di sorga.[14]

 

IV.             TINJAUAN PERJANJIAN BARU

Perjanjian Baru berpusat pada warta yang dibawakan dalam diri Yesus mengenai Kerajaan Allah. Pada pembukaan kitab Injil Yohanes dijelaskan tentang awal mula dan kemudian kedatangan Kristus sebagai terang yang menerobos kegelapan yang menjadi inti dunia semesta ini (Yoh 1:5,10;3:19;8:12-ff). Yohanes memperkenalkan Kristus sebagai Logos, Firman dan menggunakan lambang “Putra” bagi Kristus dan “Bapa” bagi Allah guna mengaktualkan kembali iman PL mengenai pencipta. Dengan demikian ditandaskan mengenai hubungan yang amat erat antara keduanya. Allah yang mengasihi dunia kini datang sendiri ke dunia. Bagi Yohanes, dunia semesta, kosmos, mengacu pada kawasan hidup manusia sejauh bertentangan dengan Allah (Yoh 12: 3; 16: 11; 1 Yoh 5: 19). Datangnya terang kedalam kawasan itu berarti kemenangan Kristus dan terjadinya ciptaan baru yang dipenuhi kedamaian.[15] Namun  ini baru akan sempurna pada akhir zaman nanti bila sorga dan bumi baru sepenuhnya lepas dari yang jahat dan maut, dan bila seluruh ciptaan bersatu akan bersatu padu memuji kebesaran Allah Pencipta (Wahyu 4: 8 – 11; 5: 13; 21: 1 – 14).

Dalam Rom 1 – 8 Paulus menjelaskan bahwa Allah pencipta dapat dikenal dari ciptaanNya. Namun manusia telah menolak sang pencipta dengan tidak mau menaatinya sehingga seluruh ciptaan menjadi rusak untuk itu manusia membutuhkan penebusan dan Allah mengutus Kristus  dan semua orang diajak untuk mengambil bagian dalam karya penebusan Kristus. Di dalam Kristus, Allah telah menaklukkan dunia dan dengan demikian Allah mengawali sejarah baru di dalam Kristus. Siapa yang ada di dalam Kristus ia adalah ciptaan baru (2 Kor 5: 17). Di dalam Kristus Allah telah kembali mengutuhkan hidup manusia. Paulus mengatakan bahwa Allah yang menciptakan jagad ini sebenarnya tidak berada jauh dari manusia, karena di dalamNya orang hidup, bergerak, dan ada (Kis. 17: 28). Bagi rasul itu, ciptaan muncul sewaktu Allah menjadikan dengan firmanNya apa yang tadinya tidak ada (Rom 4: 7).  Rencana Allah yaitu rencana yang dari semula telah ditetapkanNya di dalam Kristus sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus  sebagai kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi (Ef. 1: 9-10; Kol 1: 15 - 16).[16]

Berbicara tentang ‘gambar Allah’ (imago Dei) dan ‘rupa Allah’ (similitudo Dei) seyogyanyalah kita lebih dahulu melihat akan Yesus Kristus, ‘gambar dan rupa’ Allah yang asli. Rasul Paulus menamakan Kristus ‘gambar Allah’ dalam 2 kor 4:4 dan Kol 1:15 dimana kata-kata Yunani yang bersangkutan adalah terjemahan sesuai dengan Kej 1:27. Sebutan “Kristus adalah gambar Allah” menunjukkan kesamaan dan keesaan hakiki antara Kristus dan Allah Bapa. Yesus Kristus telah memperlihatkan diri kepada kita, siapakah dan bagaimanakah Allah itu. Di dalam Yesus orang percaya itu segambar dengan Allah (Kol 3 :10). Biarpun janji ini akan kenyataan di dalam Kerajaan Allah di masa depan, tetapi dalam percaya akan Yesus Kristus, orang percaya itu sudah diperbaharui menjadi manusia yang serupa dengan Allah, menjadi manusia yang baru. Perlu kita tafsirkan lebih lanjut disini, apa arti menurut gambar dan menurut rupa Allah. Kesegambaran dan keserupaan Allah di sini bukanlah hanya mengenai ke-ada-an (existensi) manusia belaka, melainkan dalah mengenai tugas dan fungsi manusia. Kita lihat itu dalam Kej 1:28 dikatakan bahwa manusia itu hendaknya ‘menaklukkan dan menguasai ciptaan Allah, seperti kita telah membaca di atas tadi. Di sini kita lihat bahwa manusia mempunyai tanggungjawab yang besar.

Perjanjian Baru berkata-kata tentang Kristus sebagai ‘manusia sejati dan gambar Allah’ di atas bumi ini. Dalam kedudukan yang demikian, kepadaNya diberikan segala kuasa, baik di surga maupun di bumi (Mat 28:18). Dalam Efesus 1:10 Paulus mengingatkan bahwa segala sesuatu, baik yang terdapat di bumi atau yang terdapat di surga disatukanNya di bawah satu kepala yaitu Yesus Kristus. Allah memperdamaikan diriNya dengan segala sesuatu (Kolose 1). Memperdamaikan, mengimplikasikan pembebasan, demikian juga dikatakan dalam fasal-fasal yang lalu. Kalau begitu, apa yang dikatakan sebagai ‘penaklukan bumi’ itu, haruslah dipahami sebagai ‘pembebasan bumi melalui persekutuan denganNya’. Kalau Roma 8 berkata tentang seluruh ciptaan yang terikat dan yang ditaklukkan kepada kesia-siaan, tetapi yang dengan sangat rindu  menantikan ‘saat anak-anak Allah dinyatakan’, maka dalam perbuatan pendamaian yang dilakukan Allah itu, pembebasan telah berlaku. Alam semesta juga dibebaskan ( Rom 8:19-23). Manusia yang dipanggil ke dalam pendamaian dengan Allah, juga dipanggil untuk menempatkan alam semesta dalam relasi yang lebih bertanggungjawab dengan dirinya. Etika yang tadinya berupa perjuangan untuk ada, menurut istilah Moltmann, dimana prinsip eksploitasi, dominasi dan manipulasi diterapkan, harus dirubah menjadi etika keberadaan secara serasi dimana prinsip solidaritas dipraktekkan.[17]

Dalam pada itu barangkali juga harus dikatakan, bahwa ada hubungan yang sangat erat antara keadilan yang diberlakukan diantara manusia, dengan sikap yang lebih bertanggung jawab terhadap alam semesta. Dalam Hosea 4:1-3 diberitahukan kepada kita bahwa seluruh negeri akan berkabung dan seluruh penduduk akan merana, binatang-binatang di padang dan burung-burung di udara, bahkan ikan-ikan di laut akan mati lenyap karena tidak ada kesetiaan dan kasih. Sebaliknya yang ada hanyalah mengutuk, berbohong, membunuh, mencuri, berzinah, melakukan kekerasan dan penumpahan darah. Adapun yang terjadi disini adalah ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Dan kalau manusia sudah tidak peduli lagi terhadap sesamanya, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia juga tidak peduli kepada lingkungan alamnya. Pencemaran udara misalnya adalah salah satu bentuk ketidakpedulian terhadap lingkungan, sekaligus adalah juga ketidakpedulian terhadap kesehatan manusia. Solidaritas yang menipis terhadap sesama manusia juga tercermin dalam ketiadaan solidaritas terhadap alam semesta.

Prof. Birch dalam pandangannya secara Sakramental terhadap alam semesta, meletakkan tekanannya pada unsur-unsur yang peka daripada alam semesta ini. Ia bertanya:mengapa di padang pasir ada bunga tumbuh setelah hujan datang, padahal tidak ada manusia disana. Dari kejadian ini dapat kita liha bahwa dalam bunga itu juga terdapat suatu nilai. Hal ini hanya dapat kita pahami apabila kita mengakui bahwa ada nilai intrinsik yaitu nilai yang memang melekat pada ciptaan itu sendiri. Jadi bukan hanya manusia yang mempunyai nilai intrinsik. Nilai intrinsik dari bunga itu disebabkan oleh kepekaan reaktif terhadap lingkungan. Kepekaan bunga tersebut adalah rahasia yang tidak dapat diselami manusia. Dengan ini pula kita dapat memahami apa yang Yesus katakan: ‘Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal....’. Hal itu berarti bahwa bagi Allah setiap kehidupan itu mempunyai arti. Kesubyekan artinya bahwa setia kehidupan (tumbuhan, binatang, dll) mestinya dipandang sebagai subyek. Disamping itu juga bahwa setiap ciptaan itu mempunyai sifat yang saling berketergantungan (Maz 104). Manusia hanyalah satu dari sekian banyak kerikil di atas pantai kosmos. Jadi segala ciptaan tidak dapat hidup terpisah satu dengan yang lain.[18]

V.                REFLEKSI

Dunia sebagai hadiah Allah, sebagai ciptaan adalah baik dan menuntut pemeliharan dan perlindungan. Allah adalah pemberi hidup, dunia  yang diberikan, hadiah Allah yang indah termaksud manusia dan lingkungan yang membentuk identitas manusia seharusnya dilihat, diterima dan dilayani sebagai hadiah Allah. Di dalam Kristus, pencipta secara sempurna telah melayani dalam daging dan darah bukan hanya dalam kemanusiaan, tetapi dalam seluruh ciptaan.

Kristus datang ke dunia ini tidak sebagai seseorang yang dipaksakan masuk dari luar, tetapi sebagai firman Allah yang kekal yang olehNya segala sesuatu di buat dan didalamNya manusia akan diselamatkan. Kepercayan di dalam Allah pencipta termasuk pembuktian yang menetukan bahwa semua ciptaan adalah milik Allah, dan bahwa hakekat semua pikiran memilki pengetahuan tentan Allah walaupun tidak menyebut nama. Dicipta meniru gambar Allah, manusia dari iman lain atau tidak beriman sama sekali, mempunya pengalaman akan hakekat yang diberikan oleh beberapa kenyatan kudus yang paling sempurna, dengan mereka sendiri sebagaimana dengan kita pengalaman asal tersebut telah merusak dan telah samar. Jadi perdamaian dengan sang pencipta dan dengan ciptaan tidak datang melalui kekuasaan kemanusiaan alamiah, tetapi melalui Kristus saja.  Karena itu seluruh ciptaan di arahkan untuk memuji penciptanya, dan bahwa setiap mahluk hidup harus memberi jawaban kepada tugas yang menyatu dengan alam raya.

VI.              KESIMPULAN

Lingkungan hidup merupakan hasil dari prakarsa dari Allah. Oleh karena itu hal yang paling utama untuk diperhatikan adalah Firman Allah sendiri. Allah bukan hanya membuat langit dan bumi sebagai tempat berlindung dan berpijak, akan tetapi ada suatu jalinan yang erat yang disebut dengan rumah tangga yaitu suatu keluarga didalam suatu ciptaan yang tidak terpisahkan satu sama laiunnya. Itulah sebenarnya yang menjadi unsur utama tentang makna ekologis itu sendiri.

Hal ini tidak menunjuk kepada siapa yang paling kuat, dan siapa yang paling lemah, namun menunjuk kepada suatu keinginan untuk saling melindungi yang datang secara sendirinya. Keselarasan, kesempurnaan sebagai mana Allah menciptakan alam semesta dengan “ baik” akan terjadi ketikan setiap ekosistem menyadari untuk bertanggungjawab terlebih manusia itu sendiri. Mempertanggungjawabjkan bahwa alam ini merupakan suatu bagian dari perjanjian yang hadir pada zaman bapa leluhur dan tetap aktual pada zaman modern. Bahwa harus tetap dijaga dan dipertahankan walaupun kenyataannya pada era globalisasi ini kondisi lingkungan hidup sudah menjadi lebih buruk. Intinya setiap ekosistem harus memberi jawaban atas tugas yang diberikan dari Allah itu sendiri.

PENERAPAN:

Marilah kita menjaga lingkungan hidup, sebagai warga kerajaan Allah, warga negara yang baik dan warga bumi yang ikut serta menikmati apa yang ada di dunia harus ikut serta dalam menjaga lingkungan hidup agar tetap baik.

 

Daftar Pustaka

Andreas A. Yewangoe.,          Pendamaian” BPK-Gunung Mulia Jakarta,  

   1983

Victor Tinambunan.,               “Mewujudkan komunitas damai untuk semua”,   PGI          2007                              Wilayah  SUMUT dan Panitia Jubelium 50 tahun CCA Medan

S. Wismoady Wahono,            Tabah Melangkah, BPK Gunung Mulia , Jakarta

             1988

Dr. S.M. Siahaan,                    Perdamaian, Kemerdekaan dan Keadilan, LPP STT HKBP,

          1985                              Pematang Siantar,

Oxford Advanced Learner’s   Dictionary of current English, Oxford University Press,

         1995

Botterweck, G Johannes,        The Dictionary of The Old Testament Vol. II (USA: Publishing         1983                                 Company,  

Malcon Brownlee,                  Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, PT. BPK Gunung

1986                               Mulia ,Jakarta,

J. Banawiratma, dkk,              Hidup dunia Sukacita Allah, Kanisius, Yogyakarta,

1990

Pdt. Dr. Jaharianson Saragih, S.Th, M. Si,     Suara hati Anak Bangsa, Suara Kristiani Yang

2006                                                                    Esa Peduli Bangsa,

Wliiam A. Dryness,                Agar Bumi Bersukacita, PT. BPK Gunung Mulia Jakarta,

2004

Celia Deane-Drummond :       Teologi Dan ekologi, BPK Gunung Mulia, Jakarta,              2006



[1] . Victor Tinambunan.,  “Mewujudkan komunitas damai untuk semua”, PGI Wilayah SUMUT dan Panitia Jubelium 50 tahun CCA, Medan Hal 171)

[2] . S. Wismoady Wahono, Tabah Melangkah, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1988

[3] . Dr. S.M. Siahaan, Perdamaian, Kemerdekaan dan Keadilan, LPP STT HKBP, Pematang Siantar, 1985

[4] . Oxford Advanced Learner’s Dictionary of current English, Oxford University Press, 1995

[5] . Botterweck, G Johannes, The Dictionary of The Old Testament Vol. II (USA: Publishing Company, 1983).

[6] . Gerhard, Kittel, Theological Dictionary of The New Testament (USA: Publishing Company, Grand Rapids Michigan, 1977).

[7] . William D. Mounce, The Analytical to the Greek New Testament, (Zondervan Publishing House, Michigan, 1992)

[8] . Andar Lumban Tobing, Ketika Aku Dalam Penjara, Grafina, Jakarta, 1986

[9] . idem

[10] . J. Banawiratma, dkk, Hidup dunia Sukacita Allah, Kanisius, Yogyakarta, 1990

[11] . Malcon Brownlee, Tugas Manusia Dalam Dunia Milik Tuhan, PT. BPK Gunung Mulia ,Jakarta, 1986

[12] . idem

[13] . idem

[14] . idem

[15] .  J. Banawiratma, dkk, Hidup dunia Sukacita Allah, Kanisius, Yogyakarta, 1990 hal 23

[16] .  Pdt. Dr. Jaharianson Saragih, S.Th, M. Si, Suara hati Anak Bangsa, Suara Kristiani Yang Esa Peduli Bangsa, 2006

[17] . Wliiam A. Dryness, Agar Bumi Bersukacita, PT. BPK Gunung Mulia Jakarta, 2004

[18] .  Celia Deane-Drummond : Teologi Dan ekologi, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006