PERAN
ORANG TUA CEGAH PELECEHAN ANAK
OLEH:
YEFTALIUS SITUMEANG
Belakangan
ini kita bisa melihat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
termasuk kekerasan antar suami istri, kekerasan antar orang tua dan anak, dan
pelecehan seksual dalam suatu keluarga yang bersifat inses. Peristiwa-peristiwa
itu bukan lagi suatu kejadian yang kebetulan justru masalah-masalah tersebut
menjadi suatu fenomena penyakit sosial.
Kita
bisa melihat data faktual dan laporan tentang kasus kekerasan terhadap anak
yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) terus meningkat dari
tahun ke tahun. Hampir setiap hari kita menyaksikan berita pelecehan seksual
terhadap anak di media elektronik serta membacanya di media massa cetak.
Ketua Komnas PA Arist
Merdeka Sirait menjelaskan pada 2011 ada 2509 laporan kekerasan, tahun 2012 ada
2637 laporan kekerasan. Dari kasus 2011, 59 persen adalah kekerasan seksual,
kemudian 2012, naik menjadi 62 persen. Sampai pada Maret 2013 sudah ada 42
kasus yang terekspos bahkan disebutkan, 2013 adalah tahun darurat kekerasan
seksual anak. Menurutnya kasus-kasus tersebut mengindikasikan buruknya situasi
perlindungan anak di Indonesia.
Para
pelaku kekerasan tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan korban seperti
ayah kandung atau ayah tiri, saudara, tetangga, guru, pacar korban bahkan ada
yang sampai kakek-kakek. Korban yang mengalami hal yang tidak wajar itu
diantaranya anak-anak perempuan. Mayoritas mereka belum dewasa, masih sekolah
dan anak di bawah umur.
Beberapa
contoh kasus yang bisa kita lihat adalah RI (11 tahun) meninggal setelah
beberapa hari dirawat di RS Persahabatan. Ia mengalami pemerkosaan yang
dilakukan oleh ayah kandungnya Sunoto (54) sampai-sampai RI mengalami radang
otak dan alat kelaminnya infeksi.
ZC, seorang bocah
berumur sembilan tahun, melapor ke Komnas PA bahwa ayah tirinya AD (29) telah
memperkosanya. Di Kramat Jati, RRS (7) anak SD diperkosa oleh tetangganya sendiri
RA (17). Ada juga PD (18) yang melaporkan perbuatan cabul ayahnya DP (42)
kepada Polres Jakarta Timur. PD menceritakan bahwa ayahnya telah memperkosanya
sejak usia 13 tahun. Ngariman seorang kakek menyetubuhi bocah perempuan di
bawah umur. Ini merupakan serangkaian sampel korban dan masih banyak lagi kasus
lainnya.
Pada
16 Maret 2013, Pengadilan Negeri Bojonegoro saja telah menyidang 5 orang
tersangka. Belum lagi beberapa tersangka yang belum dihukum, dan tidak tertutup
kemungkinan masih banyak kasus yang belum terungkap. Karena para tersangka
adalah orang dekat dan mempunyai otoritas yang tinggi dalam rumah, maka hal itu
melumpuhkan para korban untuk tidak mengambil tindakan. Satu sisi mereka segan
dan takut terhadap para pelaku yang mengancam korbannya. Selain itu para korban
juga sering menjaga nama baik keluarga dengan menutup-nutupi aib tetapi mereka
harus menanggung yang seharusnya tidak terjadi.
Beberapa
faktor yang menyebabkan kelalaian dan terjadinya penyimpangan itu adalah
tingginya kesempatan untuk melakukan tindakan kejahatan; lemahnya perlindungan
dari kedua orang tua, asas manfaat yang buruk terhadap anak, pengangguran,
pelarian dari banyaknya beban, gaya hidup seks bebas, ketidakharmonisan
keluarga, lingkungan yang tertutup dan lain-lain. Tetapi penyebab utamanya
adalah terjadinya dekadensi moral dan krisis iman sehingga mereka tidak lagi
mampu menguasai hawa nafsu dan sebaliknya hawa nafsu telah menguasai mereka.
Para pelaku seolah-olah telah kebal hukum, adat dan aturan, sehingga mereka
lebih mementingkan kenikmatan sesaat daripada masa depan anak.
Selama
ini sudah ada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak namun itu tidak
efektif karena fakta membuktikan makin banyak kasus yang terjadi. Menanggapi
kejadian-kejadian tersebut Pemerintah dan DPR berjanji akan membuat suatu
kepastian hukum yang ingin membuat efek jera dengan cara memberikan sanksi yang
lebih berat kepada tersangka. Hal itu akan dibahas dalam Revisi Undang-undang
KUHP. DPR sedang menunggu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM supaya
menyerahkan RUU KUHP untuk dibahas.
Tulisan
ini mengingatkan kita supaya lebih waspada dan turut prihatin terhadap
kejadian-kejadian yang sudah parah ini. Wujud kepedulian yang bisa kita ambil
adalah mengawasi dan melakukan tindakan preventif (mencegah) apabila kita melihat
orang-orang yang mencurigakan. Menghindari pergaulan bebas yang mengarah pada
pelecehan seksual, maupun benda-benda yang bisa membuat ketidaksadaran seperti minuman
keras dan narkotika. Menjauhkan anak-anak dari benda yang berbau pornografi dan
gaya hidup yang sensual yang mengundang niat jahat. Pastikan anak-anak selalu
berada dalam jangkauan yang aman, ayah dan ibu dalam keluarga harus bekerja
sama dan saling memberikan perhatian terhadap anak-anaknya. Tentunya masih
banyak cara-cara lain untuk memberantas kekejian ini.
Pertahanan
pertama untuk mencegah adalah dari dalam diri sendiri. Apabila ada rayuan,
ajakan ataupun intervensi untuk melakukan hubungan intim yang tidak benar maka
tindakan yang bisa diambil adalah keberanian dan ketegasan menolaknya. Mungkin
para korban juga sering melakukannya tetapi mereka terpaksa menjadi korban
dengan satu dan banyak alasan. Tetapi prinsip dasar yang harus dipegang adalah
jangan sampai pelecehan terjadi.
Secara teologis, bentuk
hubungan keluarga seperti kekompakan, keharmonisan dalam keluarga harus
berlandaskan pada kesucian dan kebenaran dalam jalan Tuhan supaya jangan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada hakikatnya, keluarga adalah titik
awal pembentukan kepribadian anak, baik emosional, intelektual, moral maupun
spritual. Di dalam keluarga, masing-masing angggota keluarga mempunyai peranan
dan tanggungjawab. Allah sendirilah yang memberi anugerah anak kepada para
orang tua. Hubungan kekeluargaan telah diaturkan dalam Kolosse 3: 18-21. Dalam
ayat 21 dengan jelas dikatakan supaya orang tua jangan menyakiti anak-anaknya.
Ini berarti bahwa orang tua juga harus menghargai Hak Asasi Manusia seorang
anak.
Salah satu landasan
alkitabiah yang bisa dipakai untuk menentang pelecehan seksual diantaranya
adalah Kolosse 3:5 “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang
duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga
keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala. Allah juga tidak berkenan
kepada orang yang terlalu mengagungkan seksual (Roma 1:24-27). Karena kasih
bukan hanya fisik tetapi juga kesucian (1 Tessalonika 4:7).
Yang perlu dicermati
saat ini adalah para tersangka pasti mengetahui bahwa yang mereka lakukan
adalah kesalahan fatal, tetapi mereka tetap melakukannya. Akibat dari perilaku
penyimpangan itu akan menimbulkan kerugian besar bagi korban. Secara psikologis
anak akan selalu mengingat insiden yang terjadi pada dirinya, dan itu bisa
membuat kepribadian si korban menjadi minder dan tidak jarang peristiwa yang
mereka alami akan terbawa-bawa hingga dewasa. Oleh karena itu semua pihak harus
bekerja sama dalam memberantas pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Pihak
pertama yang berperan untuk mencegahnya adalah keluarga itu sendiri. Tidak
hanya orang tua, pihak-pihak lain seperti masyarakat, agama, pendidikan, hukum,
psikolog, Kepolisian, dan Pemerintah juga harus turun tangan untuk
menyelesaikan masalah ini.
Orang tua adalah sumber
utama dalam memberikan proteksi untuk mencegah pelecehan anak. Seharusnya
pelindung pertama yang menjaga keamanan anak adalah orang tua meskipun tidak
jarang justru yang melakukan tindakan kriminal tersebut adalah orang tua.
Tetapi bukan berarti bahwa semua orang tua melakukan asas manfaat yang buruk
terhadap anak-anaknya. Sebelum kejadian-kejadian itu makin banyak maka hal ini
perlu disadari dan semua pihak mengupayakan bagaimana supaya jumlah pelecehan
seksual bisa dikurangi ataupun dituntaskan hingga ke akar-akarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar