24 Mei 2013

PERAN ORANG TUA CEGAH PELECEHAN ANAK OLEH: YEFTALIUS SITUMEANG


 

PERAN ORANG TUA CEGAH PELECEHAN ANAK
OLEH: YEFTALIUS SITUMEANG
            Belakangan ini kita bisa melihat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), termasuk kekerasan antar suami istri, kekerasan antar orang tua dan anak, dan pelecehan seksual dalam suatu keluarga yang bersifat inses. Peristiwa-peristiwa itu bukan lagi suatu kejadian yang kebetulan justru masalah-masalah tersebut menjadi suatu fenomena penyakit sosial.
            Kita bisa melihat data faktual dan laporan tentang kasus kekerasan terhadap anak yang diterima oleh Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA) terus meningkat dari tahun ke tahun. Hampir setiap hari kita menyaksikan berita pelecehan seksual terhadap anak di media elektronik serta membacanya di media massa cetak.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menjelaskan pada 2011 ada 2509 laporan kekerasan, tahun 2012 ada 2637 laporan kekerasan. Dari kasus 2011, 59 persen adalah kekerasan seksual, kemudian 2012, naik menjadi 62 persen. Sampai pada Maret 2013 sudah ada 42 kasus yang terekspos bahkan disebutkan, 2013 adalah tahun darurat kekerasan seksual anak. Menurutnya kasus-kasus tersebut mengindikasikan buruknya situasi perlindungan anak di Indonesia.
            Para pelaku kekerasan tersebut adalah orang-orang yang dekat dengan korban seperti ayah kandung atau ayah tiri, saudara, tetangga, guru, pacar korban bahkan ada yang sampai kakek-kakek. Korban yang mengalami hal yang tidak wajar itu diantaranya anak-anak perempuan. Mayoritas mereka belum dewasa, masih sekolah dan anak di bawah umur.
            Beberapa contoh kasus yang bisa kita lihat adalah RI (11 tahun) meninggal setelah beberapa hari dirawat di RS Persahabatan. Ia mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah kandungnya Sunoto (54) sampai-sampai RI mengalami radang otak dan alat kelaminnya infeksi.
ZC, seorang bocah berumur sembilan tahun, melapor ke Komnas PA bahwa ayah tirinya AD (29) telah memperkosanya. Di Kramat Jati, RRS (7) anak SD diperkosa oleh tetangganya sendiri RA (17). Ada juga PD (18) yang melaporkan perbuatan cabul ayahnya DP (42) kepada Polres Jakarta Timur. PD menceritakan bahwa ayahnya telah memperkosanya sejak usia 13 tahun. Ngariman seorang kakek menyetubuhi bocah perempuan di bawah umur. Ini merupakan serangkaian sampel korban dan masih banyak lagi kasus lainnya.
            Pada 16 Maret 2013, Pengadilan Negeri Bojonegoro saja telah menyidang 5 orang tersangka. Belum lagi beberapa tersangka yang belum dihukum, dan tidak tertutup kemungkinan masih banyak kasus yang belum terungkap. Karena para tersangka adalah orang dekat dan mempunyai otoritas yang tinggi dalam rumah, maka hal itu melumpuhkan para korban untuk tidak mengambil tindakan. Satu sisi mereka segan dan takut terhadap para pelaku yang mengancam korbannya. Selain itu para korban juga sering menjaga nama baik keluarga dengan menutup-nutupi aib tetapi mereka harus menanggung yang seharusnya tidak terjadi.
            Beberapa faktor yang menyebabkan kelalaian dan terjadinya penyimpangan itu adalah tingginya kesempatan untuk melakukan tindakan kejahatan; lemahnya perlindungan dari kedua orang tua, asas manfaat yang buruk terhadap anak, pengangguran, pelarian dari banyaknya beban, gaya hidup seks bebas, ketidakharmonisan keluarga, lingkungan yang tertutup dan lain-lain. Tetapi penyebab utamanya adalah terjadinya dekadensi moral dan krisis iman sehingga mereka tidak lagi mampu menguasai hawa nafsu dan sebaliknya hawa nafsu telah menguasai mereka. Para pelaku seolah-olah telah kebal hukum, adat dan aturan, sehingga mereka lebih mementingkan kenikmatan sesaat daripada masa depan anak.
            Selama ini sudah ada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak namun itu tidak efektif karena fakta membuktikan makin banyak kasus yang terjadi. Menanggapi kejadian-kejadian tersebut Pemerintah dan DPR berjanji akan membuat suatu kepastian hukum yang ingin membuat efek jera dengan cara memberikan sanksi yang lebih berat kepada tersangka. Hal itu akan dibahas dalam Revisi Undang-undang KUHP. DPR sedang menunggu pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM supaya menyerahkan RUU KUHP untuk dibahas.
            Tulisan ini mengingatkan kita supaya lebih waspada dan turut prihatin terhadap kejadian-kejadian yang sudah parah ini. Wujud kepedulian yang bisa kita ambil adalah mengawasi dan melakukan tindakan preventif (mencegah) apabila kita melihat orang-orang yang mencurigakan. Menghindari pergaulan bebas yang mengarah pada pelecehan seksual, maupun benda-benda yang bisa membuat ketidaksadaran seperti minuman keras dan narkotika. Menjauhkan anak-anak dari benda yang berbau pornografi dan gaya hidup yang sensual yang mengundang niat jahat. Pastikan anak-anak selalu berada dalam jangkauan yang aman, ayah dan ibu dalam keluarga harus bekerja sama dan saling memberikan perhatian terhadap anak-anaknya. Tentunya masih banyak cara-cara lain untuk memberantas kekejian ini.
            Pertahanan pertama untuk mencegah adalah dari dalam diri sendiri. Apabila ada rayuan, ajakan ataupun intervensi untuk melakukan hubungan intim yang tidak benar maka tindakan yang bisa diambil adalah keberanian dan ketegasan menolaknya. Mungkin para korban juga sering melakukannya tetapi mereka terpaksa menjadi korban dengan satu dan banyak alasan. Tetapi prinsip dasar yang harus dipegang adalah jangan sampai pelecehan terjadi.
Secara teologis, bentuk hubungan keluarga seperti kekompakan, keharmonisan dalam keluarga harus berlandaskan pada kesucian dan kebenaran dalam jalan Tuhan supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada hakikatnya, keluarga adalah titik awal pembentukan kepribadian anak, baik emosional, intelektual, moral maupun spritual. Di dalam keluarga, masing-masing angggota keluarga mempunyai peranan dan tanggungjawab. Allah sendirilah yang memberi anugerah anak kepada para orang tua. Hubungan kekeluargaan telah diaturkan dalam Kolosse 3: 18-21. Dalam ayat 21 dengan jelas dikatakan supaya orang tua jangan menyakiti anak-anaknya. Ini berarti bahwa orang tua juga harus menghargai Hak Asasi Manusia seorang anak.
Salah satu landasan alkitabiah yang bisa dipakai untuk menentang pelecehan seksual diantaranya adalah Kolosse 3:5 “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala. Allah juga tidak berkenan kepada orang yang terlalu mengagungkan seksual (Roma 1:24-27). Karena kasih bukan hanya fisik tetapi juga kesucian (1 Tessalonika 4:7).
Yang perlu dicermati saat ini adalah para tersangka pasti mengetahui bahwa yang mereka lakukan adalah kesalahan fatal, tetapi mereka tetap melakukannya. Akibat dari perilaku penyimpangan itu akan menimbulkan kerugian besar bagi korban. Secara psikologis anak akan selalu mengingat insiden yang terjadi pada dirinya, dan itu bisa membuat kepribadian si korban menjadi minder dan tidak jarang peristiwa yang mereka alami akan terbawa-bawa hingga dewasa. Oleh karena itu semua pihak harus bekerja sama dalam memberantas pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Pihak pertama yang berperan untuk mencegahnya adalah keluarga itu sendiri. Tidak hanya orang tua, pihak-pihak lain seperti masyarakat, agama, pendidikan, hukum, psikolog, Kepolisian, dan Pemerintah juga harus turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini.
Orang tua adalah sumber utama dalam memberikan proteksi untuk mencegah pelecehan anak. Seharusnya pelindung pertama yang menjaga keamanan anak adalah orang tua meskipun tidak jarang justru yang melakukan tindakan kriminal tersebut adalah orang tua. Tetapi bukan berarti bahwa semua orang tua melakukan asas manfaat yang buruk terhadap anak-anaknya. Sebelum kejadian-kejadian itu makin banyak maka hal ini perlu disadari dan semua pihak mengupayakan bagaimana supaya jumlah pelecehan seksual bisa dikurangi ataupun dituntaskan hingga ke akar-akarnya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar